1.
Kerajaan Jeumpa
2.
Kesultanan Peureulak
3.
Kesultanan Samudera Pasai
4.
Kesultanan Lamuri
5.
Kesultanan Aceh
6.
Kesultanan Tembayung, Bintan
7.
Kesultanan Siak
1. Kerajaan Jeumpa
Jeumpa
sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan
perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya. Banyak tempat di sekitar
Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalahBireuen, yang artinya
kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah,
yang dalam bahasa Arab semakna, Fath
mubin, kemenangan yang nyata.
Karena letak gegrafisnya yang
sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai
kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan
logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari
Cina menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota
perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas
unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah
melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban
dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur
Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom
kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini
telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Tentu hal ini
mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas
baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh
berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih
kosmopolit yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan
tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum
kedatangan Islam di wilayah ini.
Sehubungan dengan penyebaran
Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan, relatif lebih
mudah dalam menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan, dengan demikian,
tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Aceh, terutama di
pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia.
Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Aceh yang bergagang
ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang
telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui
sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama ”Barousai”, yang tidak diragukan
maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Aceh.
Penyebaran Islam juga dilakukan
oleh para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi
Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah
mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Cina menjadi
salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah
satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan
singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan
komunitasnya.
Bukti-bukti ilmiah telah
ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa
berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat atau
”jalur sutra” (silk road),
terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah.
Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan Eropa, adalah jalur tertua
yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari
Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat Malaka (Fansur) ke
India; selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui Teluk
Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan
lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan sejak
abad pertama sesudah Masehi.
Gangguan-gangguan keamanan sering
terjadi pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500
Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi
semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar
mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin
musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil
bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya,
pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan
Cina, dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di
Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian
ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara
Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin
ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota
pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan
ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka berdasarkan fakta sejarah
ini pulalah, keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri
pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi
sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak
terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari
pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan
dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala
Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk
peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh,
berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang
di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di
sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat
sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa
Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek
Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di
Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari
Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong
atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini
di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan sekitar 80
meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan
beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x
20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung
rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di
sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman
Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang
ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Menurut legenda yang berkembang
di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah
satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah
dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina,
India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang
pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang
Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk
berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa.
Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam.
Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku,
sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri
Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang
kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai
dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”,
yang artinya harum, wangi dan semerbak.
Menurut silsilah keturunan
Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan
Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran
dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah
Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak,
antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum
Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang
berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi,
Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara
sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan
lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri
Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, belum ditemukan
silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari
keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah
memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan
Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan
pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan
Sayyidina Husein ra.
Terlepas dari perbedaan nama Raja
pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja Abdullah atau
Raja Salman, atau memang beliau menggunakan dua nama akibat menghindar dari
kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi, atau
memang Pangeran Salman adalah bapak daripada Raja Abdullah, namun yang
penting disepakati bahwa Islam telah bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin
oleh seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang Muslim juga. Ini artinya
Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150an Hijriah
di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya. Hal ini
jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk ke
Aceh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di
Nusantara.
Di bawah pemerintahan Pangeran
Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang
memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi,
karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan
calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat
pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong
pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan
perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam
pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan
Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri
lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa
Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama
dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam
bahasa Arab semakna, Fath
mubin, kemenangan yang nyata.
Namun dalam perkembangannya,
Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah
kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah
100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang
tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada
Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun
840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak
dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui
jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan
Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak
akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari
Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah berdirinya beberapa
Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan
Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa
yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi
Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu
seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit,
Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut
pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana
difahami selama ini.
Puteri cantik jelita yang
terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah
seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa,
Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi
Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa,
Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor
penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan
sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh
dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan
dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada
Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau
Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Setelah Kerajaan Islam Perlak
yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas
Islamisasi nusantara pun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa
Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan
Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua
Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang
mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi
Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala
kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak
yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
2.
Kerajaan Peureulak / Perlak
a.
Sejarah

Teori Persia lebih
menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat Indonesia
pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya kesamaan konsepwahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri
dengan al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan sebaliknya. T.W. Arnold,
salah seorang penganutnya berargumen bahwa para pedagang Arab yang mendominasi
perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus melakukan
penyebaran Islam di nusantara pada saat itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib
al-Attas melihat bahwa bukti kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan
karaktek Islam yang khas, atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi
nusantara” yang didasarkan pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu.
Di samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang memandang bahwa
datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut dengan teori
Cina.
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat
diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada
abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat. Menurut catatan A. Hasymi, Kesultanan
Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal
1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh
Timur, Negeri Aceh.
Nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan
masuknya Islam di Indonesia kurang begitu dikenal dibandingkan dengan
Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama Kesultanan Perlak justru
terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.
1.)
Sejarah Masuknya
Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir
pada tahun 1292. Proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di
wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak
sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan
keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan
dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari
Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah.
Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da‘i yang
bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari
setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan
Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah
seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq
dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja
Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka
lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi
sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang
semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai
bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
2.)
Masa Permusuhan
Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput
dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua
kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan
darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan
pesaingnya.
Aliran Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para
pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui
Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika
dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi‘ah di pantai
Sumatera dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini
menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk
memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai
timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di
Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan
Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang
awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat
dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua
pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii,
sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali
Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti
terhadap pemikiran dan pengikut Syi‘ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu
pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah.
Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara
kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin.
Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin
Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan
kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir,
terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini
justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif
tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M),
setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat
meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama
kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya
itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah
(986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika
salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed
Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh
Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat
bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai
Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan
Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan
ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data
yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.
b.
Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah
Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data
tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan
daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai
berikut:
1.) Sultan Alaiddin Syed Maulana
Abdul Azis Shah (840-864)
2.) Sultan Alaiddin Syed Maulana
Abdul Rahim Shah (864-888)
3.) Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4.) Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan
Berdaulat (928-932)
6.)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan
Berdaulat (932-956)
7.) Sultan Makhdum Alaiddin Abdul
Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16.) Sultan Makhdum Alaiddin Abdul
Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17.) Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267)
18.)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan
Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan
di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul
Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah
Perlak asli (Syahir Nuwi).
c.
Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan
negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna
Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah
(Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera
Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18,
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun
1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di
bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan
Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
d.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai,
wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja.
Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya
berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
e.
Kehidupan
Sosial-Budaya
Perlak
dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang
didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal
sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk
membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat,
Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang
tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan
mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat
itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana
caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga
yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah
ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan
masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi
Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya
itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap
perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
3. Kerajaan
Samudera Pasai
a.
Sejarah

Seorang pengembara
Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia
juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan
Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan
Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga
menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada
tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan
kerajaan luar.
Pada masa jayanya,
Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi
oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan
Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar,
Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini
digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat
perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan
zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar
tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh
b.
Silsilah
1.) Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2.) Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3.) Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345)
4.) Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5.) Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca.
1346-1383)
6.) Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah
(1383-1405)
7.) Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8.) Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9.) Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir
(?-1455)\
10.) Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca.
1477)
11.) Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)
12.) Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah
(ca.1501-1513)
13.) Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524
c.
Periode Pemerintahan
Rentang
masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga
16 M.
d.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah
kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
Pimpinan
tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara
turun temurun. disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan,
terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri
atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau
Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang
Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan
beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing
di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya
para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan
pedagang-pedagang asing.
Selain
itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam
Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama
dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1.
Seri Kaya Saiyid
Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2.
Saiyid Ali bin Ali Al
Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3.
Bawa Kayu Ali
Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri
f.
Kehidupan Politik
Kerajaan
Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh,
sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa
pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang
bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui
bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat,
maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang
bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad
adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 –
1348).
Pada masa ini
pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan
Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui
Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur
secara India dan patihnya bergelar Amir.
Pada masa selanjutnya
pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan
Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas.
Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam.
Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya
Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas.
g.
Kehidupan Ekonomi
Dengan
letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan
Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan
peranan Sriwijaya di Selat Malaka.

Komoditi perdagangan
dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan untuk
kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas
yang dinamakan Deureuham (dirham).
h.
Kehidupan Sosial
Budaya
Telah
disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan
perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga
berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok
minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama
Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian
disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi.

Sejalan dengan itu,
juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas
permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran
yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun
Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
4. Kesultanan Lamuri
Aceh sebagai salah satu pemegang peranan
Penting dalam sejarah indonesia, juga mempunyai banyak aspek peninggalan
histori serta kebudayaan, baik sebelum saat, sepanjang, ataupun setelah
kesultanan aceh. satu pada warisan histori aceh yaitu bekas kerajaan lamuri,
yang saat ini nasibnya terancam dipunahkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. menurut R.A Hoesein Djajadiningrat, pendiri Kesultanan Aceh darussalam yakni sultan ali
mughayat syah pada pada tahun 1514M. dengan dikuasainya malaka oleh portugis
pada tahun 1511M, mengakibatkan saudagar muslim datang ke aceh. Kerajaan Aceh lantas berkembang jadi area
perdagangan yang ramai. saudagar-saudagar muslim, baik dari barat ataupun timur
memakai aceh buat jadikan pengganti malaka untuk area berdagang serta area
dengan intensif menyebarkan agama islam. kondisi itu tidak disia-siakan oleh
sultan ali mughayat syah. dia memanfaatkannya untuk membina kesultanan supaya
betul-betul kuat.
Aceh sudah dikenal sejak permulaan
terbentuknya jaringan Lalu lintas internasional ( + abad I masehi ). Berita tertua
dari dinasti Han ( abad i-vi masehi ) mengatakan negeri yang bernama
huang-tsche. menurut catatan cina tersebut, masyarakat negeri itu sama juga
dengan masyarakat hainan. mereka hidup dari berdagang. kaisar wang mang dari
dinasti han Meminta terhadap penguasa negeri ini untuk kirim seekor badak.
sesaat berita perihal Poli ditemui di dalam catatan cina. berita pertama ada
dalamcatatan dinasti leang ( 502-556 m ), dinasti sui ( 581-617 m ), serta
berita paling akhir dari catatan dinasti tang ( 618-908 m ). berkaitan letak
tersebut benar-benar belum ada kata setuju banyak pakar.
De Casparis menjelaskan bahwa poli tidak
kurang pentingnya serta menggemparkan. Poli bisa disamakan dengan puri,
lengkapnya dalam-puri yang dimaksud kerajaan lamuri oleh orang-orang arab serta
lambiri oleh marco polo. Sejauh mana poli itu sama dengan Kerajaan lamuri,
layaknya yang dikemukakan oleh de casparis, tetap butuh penelitian seterusnya.
di dalam naskah-naskah aceh di sebutkan bahwa kerajaan lamuri yang dieja dengan
l. m. r. i. pada m serta r tidak ada sinyal vokal, jadi seandainya dituruti
langkah mengeja di dalam naskah, kemungkinan kecil bahwa nama itu bakal dibaca
lamuri atau lamiri. sesaat di dalam buku histori melayu, lamuri dimaksud dengan
lamiri ( l. m. y. r. y ).
Berita tertua berkaitan kerajaan lamuri
datang dari ibnu khordadhbeh ( 844-848 ), sulaiman ( 955 ), mas'udi ( 943 ),
serta buzurg bin shahriar ( 955 ). seluruhnya penulis arab. mereka mengatakan
Kerjaan lamuri dengan nama ramni serta lamuri, sesuatu area yang membuahkan
kapur barus serta hasil bumi perlu yang lain. mas'udi beri tambahan juga bahwa
ramni pada masa itu takluk dibawah kerajaan sriwijaya. sesaat itu, sumber dari
cina perihal kerajaan lamuri yang amat tua datang dari tahun 960m. di dalam
catatan cina sudah di sebutkan dengan nama lanli, sesuatu area yang bisa
disinggahi oleh utusan-utusan parsi yang kembali dari cina setelah berlayar 40
hari lamanya. Di sana mereka menanti musim teduh untuk selanjutnya berlayar
lagi ke negeri asal mereka. Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi
yang terbit pada tahun 1225 M, menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan
San-fo-ts'i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li, yang diperkirakan adalah
Kerjaan Lamuri.
Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama
Islam, memiliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian
diusung atau mengendarai seekor gajah. Selanjutnya, apabila dari negeri ini
seorang bertolak di musim timur laut maka ia akan tiba di Ceylon dalam waktu 20
hari. Pada tahun 1286, Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke
negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kublai
Khan dari Jawa. Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa Minor
(Sumatera), ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Kerajaan Lamuri.
Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar
upeti. Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin,
menyebutkan untuk pertama kalinya bahwa tempat-tempat penting "di pulau
Lumari yang besar itu" selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang.
Sejak tahun 1286, Lamri telah mengirim
utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming disebutkan bahwa pada tahun
1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat, sementara pada tahun
1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan itu
tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail, kemudian kembali
bersama-sama ekspedisi Cheng Ho.
Pada tahun 1412M, raja Maha-Ma-Shah
(Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi
ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li ke Cina yang
secara teratur dikirim setiap tahun terdapat nama Sha-che-han putera
Mu-ha-ma-sha. Ketika Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke seluruh
negeri, Kerajaan Lamuri pun memperoleh bagian pula. Ada kemungkinan bahwa
pengiriman hadiah-hadiah itu bukan untuk pertama kalinya, karena lonceng Cakra
Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di
Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409M.
Catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan, disebutkan
bahwa Kerajaan lamuri terletak "Tiga hari berlayar dari Samudera pada
waktu angin baik." Negeri itu bersebelahan pada sisi timur Litai, bagian
utara dan barat berbatas dengan laut Lamri (laut Hindia), dan ke selatan
berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita Cina itu, Groenevelt mengambil
kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera bahagian utara, tepatnya di Aceh
Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan bahwa Kerjaan Lamuri terletak di
tepi laut.
Di antara penelitian yang menyebutkan
bahwa Kerajaan Lamuri merupakan sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar
adalah M. J. C. Lucardie dalam karangannya "Mevelies de Lindie",
penerbitan van der Lith 1836M. Dia menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat
Tungkop, besar kemungkinan adalah peninggalan dari kerajaan Lamuri.
Tome Pires dalam karangannya mengenai
pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos
dan 2 terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir,
terra de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee. Nama-nama
tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu
Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee.
a.
Sejarah
Awal Mula
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya
ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan.
Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran
pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan
Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai
lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian
batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman
Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat
keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri
sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil
Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah
makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh
Darussalam yang berada di Kandang
XII Banda Aceh ini, disebutkan
bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan
juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali
Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada
14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam
adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari
Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun
930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan
tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah
yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya,
dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam
pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di
atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam
menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H.
Mohammad Said a, 1981:157).
Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni
oleh beberapa pemerintahan besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan
Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain
Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan
Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah
seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan
Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah
yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat,
yakni Sultan Iskandar Muda. Pada
akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan
tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam,
yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi &
Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73).
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya (Denys Lombard, 2007:43).
Mengenai asal-usul
Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya
versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih
sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah
mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa
kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang
dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat
bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi
Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian,
Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang
ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku
Kutakarang (wafat pada November
1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab,
Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja
diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard,
2007:62).
Dalam buku karya
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”
(2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang sempat dinamakan
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah
Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan,
yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh
Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang
menyebutkan nama "Aceh Lhee Sagoe" (Aceh Tiga Sagi). Selain itu,
terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang
sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh
Darussalam dan juga letak ibukotanya," untuk menamakan Aceh.
Nama Aceh sering
juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni
yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama
Aceh belum ada suatu kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai
digunakan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama
yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama
“Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”,
dan Dacin”, sedangkan orang Cina
menyebutnya dengan nama “Atje” dan “Tashi” (Sufi & Wibowo a, 2006:73-74).
Dalam karya Rusdi
Sufi dan Agus Budi Wibowo yang lain, yaitu yang terangkum dalam buku dengan
judul “Ragam Sejarah Aceh” (2004), disebutkan bahwa selain sebagai penyebutan
nama tempat, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai
penduduk asli yang mendiami Bumi
Aceh. Terdapat cukup banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis
Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil.
Suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu
telah eksis semenjak Aceh masih berupa sebuah kerajaan/kesultanan (Rusdi Sufi
& Agus Budi Wibowo b, 2004:1-2).
Sementara itu,
menurut penelitian K.F.H. van
Langen yang termaktub dalam karya
ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa Kesultanan” (1986), dituliskan
bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut Ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu
dapat dianggap benar dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra yang
mendiami daerah antara Selangor dan Gunung
Ophir di Semenanjung Tanah
Melayu, menurut van Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus
dipecahkan lagi dalam studi perbandingan bahasa Melayu-Polinesia. Tetapi sejauh
masalah itu belum dapat dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap bahwa Mante adalah penduduk asal daerah Aceh,
terutama karena nama itu tidak merujuk pada penduduk asal suku-suku bangsa lain
(K.F.H. van Langen, 1986:3).
b.
Masuknya Kolonialisme Barat
Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis
selaku bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor
utama runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan
Majapahit. Pada 1508, atau kurang dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah
memproklamirkan berdirinyaKesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis pertama
yang dipimpin Diogo Lopez de
Sequeira tiba di perairan Selat
Malaka. Armada de Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan
perlengkapan perang. Namun, kedatangan rombongan calon penjajah asal Portugis
yang pertama ini tidak membuahkan hasil yang gemilang dan terpaksa mundur
akibat perlawanan dari laskar tentara Kesultanan Malaka.
Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun
belum menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa
Kesultanan Aceh Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin
perlawanan dan berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de Britto yang tewas dalam pertempuran di
perairan Aceh itu. Dalam menghadapi Kesultanan Aceh Darussalam dan keberanian
Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis membujuk Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai
untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh
Darussalam, armada Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun
pasukan Aceh Darussalam tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan
Pedir. Pihak Portugis bersama Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri
lagi dan mencari perlindungan ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat
Syah meneruskan pengejarannya dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524.
Sejumlah besar rampasan yang berupa alat-alat perang, termasuk meriam,
digunakan tentara Aceh Darussalam untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena
pasukan Aceh Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang
milik Portugis yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a,
1981:187). Sultan Ali Mughayat Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang
pemberani dan penakluk yang handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan
Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa
kerajaan lainnya di Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan
Daya.
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang
ditulis oleh C.R. Boxer,
mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam
sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan,
sejarawan Portugis sendiri, Fernao
Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih
banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka
sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu
rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh
Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra
Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran
Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15 (Said a, 1981:168).
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh
Darussalam hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu
nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal
dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936
Hijriah atau bertepatan dengan
tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah
relatif singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh.
Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri
Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain :
·
Mencukupi kebutuhan
sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
·
Menjalin persahabatan
yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara.
·
Bersikap waspada terhadap
kolonialisme Barat.
·
Menerima bantuan tenaga
ahli dari pihak luar.
·
Menjalankan dakwah Islam
ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Sultan
Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh
sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus tahta Kesultanan Aceh Darussalam,
diangkatlah putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam yang
baru. Di bawah pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh Darussalam
menyerang Malaka pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539, kepemimpinan
Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering dikenal juga dengan
nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini perlahan-perlahan
mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dengan melakukan beberapa
gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada tahun yang sama Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang tinggal di pedalaman.
Menurut Mendez Pinto, pengelana
yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di bawah pimpinan
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas laksar-laskar yang antara
lain berasal dari Turki, Kambay, dan Malabar (Lombard, 2007:65-66).
Hubungan Kesultanan
Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar dengan
kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid. Pada 1569, misalnya,
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya ke Istanbul untuk
meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta ahli-ahli senjata
untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga mengirimkan
pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan, Sultan Turki juga
memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden, serta Mekkah untuk membantu laskar Turki yang
sedang bertolak menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt
Oglu Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus
mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas
benteng-benteng kafir (Said a, 1981:199).
Selain terus
berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang
membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu Kerajaan Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan
1568), menawan Sultan Johor karena membantu Portugis, serta berhasil
mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada 1564. Untuk
melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru, maka
diangkatlah Abdullah, putra
pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, untuk memegang kendali
pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah takluk dan menjadi bagian dari kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam. Namun, berbagai peperangan besar antara Kesultanan
Aceh Darussalam melawan Portugis memakan banyak korban dari kedua belah pihak
yang berseteru. Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16 Februari 1568,
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya, Sultan
Abdullah yang memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru.
Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8
Jumadil Awal tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra
mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang
diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh Darussalam
adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan
Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau
yang juga sering dikenal dengan nama Ali
Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah merupakan sosok
pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang politik serta
pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir kolonialis
Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi,
pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah melalukan
penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575. Ketahanan Sultan
Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung ketika Aceh Darussalam
menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan menjadi tawanan perang.
Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah, yang
memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika sang Sultan
wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun
987 Hijriyah atau bertepatan
dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi.
Sepeninggal Sultan
Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam memasuki
masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah dipercayakan kepada
anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan selama 7 bulan.
Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum memiliki
keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri Alam yang
merupakan anak dari Sultan Ala
ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, penguasa ke-4 Kesultanan Aceh Darussalam. Akan
tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata tidak becus
dalam mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, hanya 2 bulan
memerintah, Sultan Sri Alam pun mati terbunuh.
Roda pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan Zainal Abidin. Pemimpin
Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah, pemimpin wilayah Haru yang tewas
ketika pertempuran melawan Portugis. Sama seperti penguasa sebelumnya, Sultan
Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik.
Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang bengis, kejam, dan haus darah. Sultan
Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh demi memuaskan nafsu dan ambisinya.
Sultan yang memerintah dengan tangan besi ini memimpin Kesultanan Aceh
Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5
Oktober 1579 (Said a, 1981:205).
Setelah era tirani
Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam
sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula. Dikisahkan, pada sekitar tahun
1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Kesultanan Perak dan berhasil
menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan
Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke Aceh
sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama Mansur,
dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Ghana. Tidak lama kemudian, Mansur
ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam menggantikan Sultan
Zainal Abidin, dengan gelar Sultan
Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan
berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri Kesultanan Aceh
Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok yang alim,
shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan Mansur
Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam
kehidupan masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah
mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun,
kepemimpinan agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat
Aceh Darussalam berhenti bergolak. Pada 12
Januari 1585, ketika rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan
pulang dari lawatannya ke Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan
Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh Darussalam kembali rumit untuk
menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Aceh Darussalam yang selanjutnya.
Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat dan kesultanan yang berpengaruh
dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang berhak menduduki tahta Kesultanan
Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa
Inderapura, Sultan Munawar Syah.
Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak
langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu
peristiwa pembunuhan. Sebenarnya, yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam
sebelumnya adalah Raja Ayim, cucu
Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas terbunuh.
Pemimpin Kesultanan
Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604). Pada era Sultan Ala`udin
Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme Eropa kian merasuki bumi
nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda. Tanggal 21 Juni 1595,
armada dagang Belanda yang dipimpin de
Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick,
tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick bertindak
sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan orang-orang Belanda
disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan kaum pedagang
Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri bagi
orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis sendiri
pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat
kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa
Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan nama Sultan Iskandar Muda.
c.
Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda
Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada
Belanda tiba di Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda
berlangsung dengan kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan
dan diplomatik (Isa Sulaiman, eds. 2003:5). Mengenai hubungan perdagangan, de
Houtman bersaudara atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh
Darussalam, agar diperbolehkan membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh.
Sebagai gantinya, de Houtman berjanji akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammaluntuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Selama
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintah selama 20 tahun,
Kesultanan Aceh Darussalam terus-menerus terlibat pertikaian besar dengan
Kesultanan Johor. Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal dan de Houtman mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang berada
di Aceh mulai bersikap tidak sopan. Frederick
de Houtman beberapa kali
mengatakan kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick
de Houtman adalah ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
menanyakan di mana letak negeri Belanda dan berapa luasnya. Frederick de
Houtman lalu membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri
Belanda itu besar, meliputi hampir seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow
(Rusia) sampai dengan Venezia (Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat
Syah Said Al-Mukammal tidak begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de
Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana
sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang
sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda
adalah negeri yang tidak punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan
negara republik yang baru saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu
saja murka karena telah diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya.
Maka kemudian Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan
tentaranya untuk mencari, menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de
Houtman. Konon, lima orang anak buah kapal Frederick de Houtman dibebaskan
karena bersedia masuk Islam. Rakyat Kesultanan Aceh Darussalam bertambah geram
terhadap awak-awak kapal Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati
batas. Ketika salah satu kapal Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang terletak di Lautan Hindia antara
Sumatra dan Srilangka, Cornelis
de Houtman, saudara laki-laki Frederick, berkelakuan tidak sopan. Diceritakan,
Cornelis telah memaksa istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau itu supaya
berjalan di hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat. Setelah
itu, Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel di
tubuh perempuan malang tersebut.
Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak
lama setelah peristiwa memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang
dilakukan oleh para awak kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan perahu-perahu
milik nelayan Aceh. Laksamana van Caerden, pemimpin kapal Belanda itu, tidak
segan-segan menyerang dan menenggelamkan kapal-kapal Aceh yang ditemuinya.
Kelakuan orang-orang Belanda tersebut jelas menimbulkan ketegangan dengan pihak
Kesultanan Aceh Darussalam dan kondisi ini ternyata menyulitkan pihak Belanda.
Jika bermusuhan terus dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain keamanan
pelayaran laut, juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut
Belanda dari Portugis.
Ketika Portugis dan
Belanda berebut pengaruh di tanah Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam justru
mengalami konflik internal. Pada April 1604, anak kedua Sultan Ala`udin Ri`ayat
Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan Muda, melakukan kudeta terhadap ayahnya
sendiri, lalu memproklamirkan dirinya menjadi sultan dengan gelar Sultan Ali
Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan Muda pernah diangkat sebagai wakil Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, untuk memimpin Pedir yang telah
berhasil ditaklukkan.
Namun, karena
kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia ditarik kembali
ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami pengalaman dalam
mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir digantikan oleh
saudaranya, Sultan Husin, yang
sebelumnya diserahi tugas untuk mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai
timbul keinginan dari Sultan Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi
sang putra mahkota, anak pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
yang bernama Mahadiradja, telah
gugur dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604 itu,
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru
di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah ternyata menimbulkan
ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari saudaranya sendiri, yakni
Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas kepemimpinan Sultan
Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga ditunjukkan oleh seorang
anak muda yang pemberani, bernama Darma
Wangsa atau yang dikenal juga
dengan panggilan kehormatan: Perkasa
Alam. Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam
cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui
rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat
Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang cukup besar terhadap
Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan dipenjarakan. Daro balik
kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi
Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena
ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat
Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali
Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi
perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari Bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena
Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh
Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam
kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya
memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat
serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis
dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan
terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun,
di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang
mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April
1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit ketegangan
sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang gelar
sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat
terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak
seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan
Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu
yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan
Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat
pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh
Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah
perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun
Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan
menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh
Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat.
Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun
Pangkat.
Berbagai nama dan
gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan
Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar
kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan
hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang
tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu
siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said
a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki
tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa
Alam yang bergelar Sultan
Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah
antara lain :
1.
Menguasai seluruh negeri
dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya
wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik
pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
2.
Memukul Johor supaya
tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
3.
Memukul negeri-negeri di
sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya
untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
4.
Memukul Portugis dan
merampas Malaka.
5.
Menaikkan harga pasaran
hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu
pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna
sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a,
1981:285).
Semenjak Sultan
Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah
Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun kembali, dan di sebelah barat,
terutama daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan
kepada pembesar-pembesar yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk
mengatur cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh
Darussalam.
Sementara itu,
setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang dalam meneruskan
usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu,
sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain
di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan
kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon
Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan
1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan
cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau
pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan yang sama.
Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di
daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh
Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga mendukung upaya Sultan
Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai
Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di
tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku,
Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk
memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di
bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah,Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di
selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi,
sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan
Aceh Darussalam.
Di bawah
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak
masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi komoditas yang cukup
laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun melambung tinggi.
Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan
pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya,
demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam
koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika
perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan
bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan
lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Di sisi lain,
Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis yang berlindung
di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman
besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja melakukan
kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis
harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program
yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi
pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan
berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada
perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah
pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini
sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi
dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung
laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di
atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu
berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak
memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya
bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah
mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan
bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
d.
Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh
Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari
Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang
dikenal juga dengan nama Sri Ratu
Safi al-Din Taj al-Alam ini
memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa
pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak
asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa
dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh
Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena
telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis
Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu
Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang
wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin
perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat
dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang
selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi
usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun
pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din
Nur al-Alam hanya bertahan selama
2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin
Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih
dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri
Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688),
dan kemudian Sri Ratu Kamalat
Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era
kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali
mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat
konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan
Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris.
Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda
secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda
gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun,
lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki abad
ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya dinding
ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang pakar
budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr.
Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius
menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas
Leiden ini sempat memeluk Islam
untuk memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam,
demikian pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan
perihal yang khusus mengenai pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk
(H. Mohammad Said b, 1985:91). Snouck
Hugronje menyarankan kepada
pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini
selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama.
Menurut Snouck Hugronje, tulang
punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum
ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal
yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain :
1.
Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
2.
Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan
musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
3.
Rebut lagi Aceh Besar.
4.
Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan
pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
5.
Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang
keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal
ihwal rakyat dan negeri Aceh.
6.
Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri
dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri
kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran ini kemudian
diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis
para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya
sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin
melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun
kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda.
Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap
penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap
berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan
berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik
Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir
kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih
dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa
Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat
berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.
e.
Silsilah
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga
keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga
tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah
berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
1.
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
3.
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4.
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah
(1568-1575)
5.
Sulthan Muda (1575)
6.
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
7.
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
8.
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9.
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra
(1589-1596)
10.
Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu
(1596-1604)
11.
Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12.
Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1607-1636)
13.
Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14.
Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri
Sri Alam (1641-1675)
15.
Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16.
Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17.
Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18.
Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din
(1699-1702)
19.
Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20.
Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21.
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22.
Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23.
Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24.
Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25.
Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26.
Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27.
Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28.
Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29.
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30.
Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31.
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32.
Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33.
Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34.
Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35.
Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36.
Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh
Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )
f.
Wilayah
Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat
andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh,
termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala
Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil
menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka,
kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan
ke Malaka pada 1629.
Selain itu,
negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu
Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak,
Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu
menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
1.)
Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif
yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh
seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
·
Sagoe XXII Mukim
·
Sagoe XXV Mukim
·
Sagoe XXVI Mukim
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa
Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah
administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang
terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum.
Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang
kepala dengan gelar Keutjhi.
2.)
Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang
dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah
di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3.)
Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam
terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh
Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan
oleh uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)
g.
Sistem
Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar (1577-1589), Kesultanan
Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Qanun
Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada Al-Quran dan
Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung
berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat
pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh
Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk
menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Pada era
kepemimpinan Sultan Ala`udin
Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh
Darussalam memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan
diperintah oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang
dihormarti), bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki
Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana
setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang prajurit. Selain itu,
Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar
yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga dengan adanya
barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang (Said a, 1981:218-219).
Selanjutnya,
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan
dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di
bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan
penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan
rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan
sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang
terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan
dasar oleh sultan-sultan setelahnya.
Penertiban hukum
yang dibangun Sultan Iskandar
Muda memperluas kebesarannya
sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris,
Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil
aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena
peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum
agama. Dengan demikian, Adat
Makuta Alam yang dicetuskan pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum
yang berlaku di Kesultanan Aceh Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum
adat.
Dalam makalah
bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar
Muda” (1961) yang ditulis oleh A.
Hasjmy disebutkan, susunan
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda
menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan
memiliki hak-hak istimewa, antara lain:
1.) Pembebasan orang
dari segala macam hukuman.
2.)
Membuat mata uang.
3.)
Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau
“Yang Berdaulat”.
4.)
Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan
memberhentikan perang.
Dalam menjalankan
roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa lembaga pendukung
kesultanan, yaitu antara lain:
·
Majelis Musyawarah
Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam
sendiri, sedangkan wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan
anggota-anggotanya diangkat dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.
·
Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)
Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga
pengadilan tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul
Adil, dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.
·
Majelis Wazir (Dewan Menteri)
Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini,
sedangkan Wazir A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan
anggota-anggotanya adalah dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh
Darussalam bertindak sebagai Panglima
Tertinggi Angkatan Perang dan
dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga
berposisi sebagai Pemimpin
Tertinggi Kepolisian yang dibantu
oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar Aceh
Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah pimpinan Sultan yang
dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj sebagai wakilnya. Di
samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris Kesultanan yang
terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku
Keureukon Katibumuluk Sri Indrasura (jabatan
ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan (2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri
Indramuda (semacam Ajun
Sekretaris Negara) (Hasjmy, 1961:2).
h. Kondisi Sosial-Ekonomi
Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat
dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain
itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di
antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang
meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan
juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang
digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata
uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu,
dan tahil (Said a, 1981:219).
6. Kesultanan
Tembayung, Bintan
Kerajaan
Tambayung merupakan kerajaan pertama bangsa Melayu, kerajaan ini berdiri saat
pertengahan abad ke 6-7, keraajaan ini berletak dekat dengan daerah tetangga
yaitu “KEPULAUAN RIAU” Kerajaan Tambayung telah memeluk Islam yang disebar
luaskan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani pada akhir abad ke 6. Nama TAMBAYUNG
diambil dari kata “Tam” yang berarti kekuatan dan “Yung” berarti dari yang Maha
Pencipta.
Asal sejarah melayu merupakan sebuah
rumpun (kaum) asli berasal dari nusantara (Indonesia) yang menghuni suatu
daerah tepatnya di kepulauan RIAU tepatnya di daerah Bintan dan berpindah ke
negara tetangga karena pergeseran Bumi. Nama Melayu diambil dari bahasa
“MALAYU” yang merupakan bahasa yang biasa dipakai untuk berkomunikasi, sehingga
dari bahasa keseharian itulah menjadikan nama suatu kelompok(rumpun) yaitu
“MELAYU” yang mana merupakan sandi dilingkungan kerajaan dan hanya diketahui
oleh orang dalam kerajaan yaitu berbentuk sebuah Peta tujuannya untuk
mensiasati apabila tidak dibuat sandi kerajaan di khawatirkan akan timbul suatu
perpecahan dan pertumpahan pertumpahan darah. Jadi bangsa Melayu merupakan
suatu rumpun tersendiri tanpa campuran bangsa lain, berarti masih asli orang
pribumi Nusantara.
Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan
Baabullah sebagai sebutan gelar kerajaan adapun nama asli pemberian kedua orang
tuanya adalah “Anang Marang Saliwang”, “Anang” berarti laki-laki “Marang
Saliwang” merupakan sebuah julukan yang berarti yang berpendengaran kurang.
Istrinya bernama “Ratu Siam” sebagai gelar kerajaan, sedangkan nama Aslinya
“Siti Aminah”. Sultan Baabullah dan Ratu Siam dikaruniai dua orang anak, anak
pertama laki-laki dengan gelar “Raden Marang” nama aslinya “Putraku Galuh” dan
anak yang kedua perempuan dengan nama “Rara Saraswati” nama aslinya “Putri
Kinanti”. Pada masa pemerintahannya sistem pemerintahan mengunakan sistem
Islam, sementara starata kerajaan tidak menuntut untuk disebut raja terkecuali
apabila ada tamu.
Hancurnya kerajaan ini disebabkan
adanya pergeseran bumi, penduduknya sebagian berpindah ke Negara tentangga yang
kita kenal Malaysia, semetara tempat rumpun yang asli terkubur oleh pergeseran
bumi tersebut.
7.
Kesultanan Siak
a.
Sejarah Keemasan Kesultanan
Siak Sri Inderapura, Tahun 1723-1945 dan Ekspansi Kolonialisasi Belanda
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat
bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dlm bahasa Sanskerta, sri berarti
“bercahaya” & indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat
bermaksud dengan “kota” atau “kerajaan”. Siak dlm anggapan masyarakat Melayu
sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yg ahli
agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai
Orang Siak. . Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara
Pakistan & India, Sihag atau Asiagh yg bermaksud pedang.
Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,
masyarakat nomaden yg disebut oleh masyarakat Romawi, dan
diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari
Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih
dijumpai masyarakat terasing yg dinamakan sebagai Orang Sakai. Kesultanan Siak
Sri Inderapura ialah sebuah Kerajaan Melayu Islam yg pernah berdiri di
Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia.
Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari
Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723,
sesudah sebelumnya terlibat dlm perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya,
Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yg kuat & menjadi
kekuatan yg diperhitungkan di pesisir timur Sumatera & Semenanjung Malaya
di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini
sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran
antara Sumatera & Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tak lepas dari
persaingan dlm memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak
terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan
Republik Indonesia. Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yg ditulis antara
tahun 1513-1515, Siak merupaken kawasan yg berada antara Arcat & Indragiri
yg disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, kemudian menjadi
vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal.
Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim
oleh Johor sebagai bagian wilayah kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil.
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat
menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus
melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dlm Hikayat Siak
disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yg kalah dlm perebutan
kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan
Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan
bahwa Sultan Abdul Jalil merupaken saudaranya yg diutus untuk urusan dagang
dengan pihak VOC.
Kemudian Sultan Abdul Jalil dlm suratnya tersendiri,
yg ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari
Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor. Sebelumnya dari
catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor
untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.
Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga
menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor [1673], yg mengakibatkan
hancurnya pusat pemerintahan Johor, yg sebelumnya juga telah dihancurkan oleh
Portugal & Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan
Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari
Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka. Pada tahun
1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus
mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar
Johor, namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yg dipimpin oleh Raja
Sulaiman anak Bendahara Johor, yg juga menuntut hak atas tahta Johor, dibantu
oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari peperangan ini, Raja Sulaiman
mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di pedalaman Johor, sementara Sultan
Abdul Jalil, pindah ke Bintan & kemudian tahun 1723 membangun pusat
pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.
Sementara pusat pemerintahan Johor yg sebelumnya
berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, & menjadi
status quo dari masing-masing penguasa yg bertikai tersebut. Sedangkan klaim
Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut,
kelompok masyarakat yg bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur
Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan & loyalitas ini terus bertahan
sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.
b.
Kemajuan Perdagangan Kesultanan Siak
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan
atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan
para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari
catatan Belanda yg menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang
dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara
Belanda di Malaka & Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan
Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama
sesudah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap
ketidaksukaan & permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dlm Tuhfat
al-Nafis, di mana dlm deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak
sebagai orang yg rakus akan kekayaan dunia. Peranan Sungai Siak sebagai bagian
kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian
Siak Sri Inderapura.
Sungai Siak merupaken
kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus,
benzoar bahkan timah & emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak
juga telah menjadi eksportir kayu yg utama di Selat Malaka serta salah satu
kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan.
Dengan cadangan kayu yg berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan
kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras & garam di
Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan
syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yg
mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yg tak berujung. Dominasi Kesultanan
Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera & Semenanjung
Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor
sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga
muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga
sungai utama yaitu Siak, Kampar, & Kuantan, yg sebelumnya telah menjadi
kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar
seiring dengan munculnya gejolak di pedalamanMinangkabau yg dikenal
dengan Perang Padri.
c.
Masa Kejayaan Sultan Siak
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun
1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan
memasukan Rokan ke dlm wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada
laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan
Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan
kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat
pemerintahannya & atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi
kedudukan di Pulau Penyengat. Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya
pada kawasan kepulauan & mulai membangun kekuatan baru pada kawasan
sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali
bangkit & menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.
Ancaman dari Siak, serta di saat bersamaan Johor juga
mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yg meminta balas atas jasa mereka. Hal
ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda di Malaka
& menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian direspon oleh
VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut. Sepeninggal Raja Kecil
tahun 1746, klaim atas Johor memudar, & pengantinya Sultan Mahmud fokus
kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera & daerah vazal di
Kedah & kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan
Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dlm urusan dagang &
hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dlm bidang persenjataan.
Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di
kerajaan ini yg awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad
Ali, yg lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara
sepupunya Raja Ismail, tak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut,
menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun
kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Sekitar tahun 1767, Raja Ismail,
telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus
menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di
Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu
menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan
perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu.
Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat
signifikan mulai dari Terengganu, Jambi & Palembang. Laporan Belanda
menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur
pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang
kemeriahan sambutan yg diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke
Palembang. Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yg dominan di
pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat,
& menjadikan wilayah tersebut dlm pengawasannya, termasuk wilayah Deli
& Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784
Kesultanan Siak membantu VOC menyerang & menundukkan Selangor, sebelumnya
mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di
Pulau Penyengat.
d.
Daftar Sultan Siak Sri Inderapura
1.)
1723-1746 Yang
Dipertuan Besar Siak
Sultan Abdul Jalil Syah
Sultan Abdul Jalil Syah
2.)
1746-1761 Sultan
Abdul Jalil Syah II
Sultan Mahmud Memindahkan pusat pemerintahan ke Mempura**
Sultan Mahmud Memindahkan pusat pemerintahan ke Mempura**
3.)
1761-1761 Sultan
Abdul Jalil Syah III
Raja Ismail Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana selama 18 tahun*
Raja Ismail Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana selama 18 tahun*
4.)
1761-1770 Masa
peralihan
5.)
1770-1779 Sultan
Abdul Jalil Muazzam Syah
Raja Muhammad Ali Johor telah menjadi bagian dari Siak Sri Inderapura
Raja Muhammad Ali Johor telah menjadi bagian dari Siak Sri Inderapura
6.)
Mengizinkan pendirian
Kerajaan Negeri Sembilan tahun 1773
7.)
1779-1781 Sultan
Abdul Jalil Syah III
Raja Ismail Kembali berkuasa
Raja Ismail Kembali berkuasa
8.)
1781-1791 Sultan
Abdul Jalil Muzaffar Syah
Sultan Yahya Pada tanggal 1-8-1782 membuat perjanjian dengan VOC dlm berperang melawan Inggris, Meninggal dunia tahun 1791 & dimakamkan di Tanjung Pati [Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia]
Sultan Yahya Pada tanggal 1-8-1782 membuat perjanjian dengan VOC dlm berperang melawan Inggris, Meninggal dunia tahun 1791 & dimakamkan di Tanjung Pati [Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia]
Kesultanan Siak Sri Inderapura merupakan sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri di daerah Provinsi Riau, Indonesia, tepatnya di
Kabupaten Siak sekarang. Awalnya kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja
Kecil, dari Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723,
setelah sebelumnya tersingkir atas tahta Kesultanan Johor. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II
menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
a.
Etimologi
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna
pusat kota raja yang taat beragama, Siak dalam anggapan masyarakat Melayu
sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli
agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai
Orang Siak. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan
indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan
"kota" atau "kerajaan".
Membandingkan
dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, belum
menyebutkan adanya nama Siak antara kawasan Arcat dan Indragiri yang disebutnya
sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, serta juga menyebutkan dari tiga
raja MInangkabau itu hanya satu raja yang telah memeluk Islam, sehingga jika
dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’
mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau
dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai
sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan
antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat
ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh
masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang
penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak
sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang
Sakai.
b.
Masa awal
Raja Kecil putra Pagaruyung dalam Hikayat Johor disebut
juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan
kekuasaan. Sedangkan berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan
Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu menyebutkan
bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang
dengan pihak VOC.[5] Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri yang
ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari
Pagaruyung.
Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun
1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau
berperang melawan raja Jambi.[7] Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi,
Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul
Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.
Pada tahun 1717 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor, namun di tahun 1722 Sultan Abdul Jalil disingkirkan akibat pengkianatan beberapa bangsawan Johor dan kemudian ia pindah ke Siak serta mendirikan kerajaan baru yang dipimpinnya sendiri di tahun 1723.
Pada tahun 1717 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor, namun di tahun 1722 Sultan Abdul Jalil disingkirkan akibat pengkianatan beberapa bangsawan Johor dan kemudian ia pindah ke Siak serta mendirikan kerajaan baru yang dipimpinnya sendiri di tahun 1723.
c.
Masa Keemasan
Di tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan
wilayah dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak,
membangun pertahanan armada laut di Bintan bahkan di tahun
1740-1745 menaklukan beberapa kawasan di Kedah.
Pada tahun 1761, putra Sultan Abdul Jalil yang menjadi
Sultan Siak berikutnya membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam
urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang
persenjataan.
Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang
dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan
daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[9]
termasuk wilayah Deli dan Serdang.
Jangkauan terjauh pengaruh Kesultanan Siak sampai ke Sambas
di Kalimantan Barat. Kesultanan Siak mengambil keuntungan atas pengawasan
perdagangan melalui Selat Melaka dan kemampuan mengendalikan para perompak di
kawasan tersebut.
Penurunan
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Kesultanan Inderagiri yang menjadi vassal dari Kesultanan Aceh.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Sementara pada tahun 1859 Belanda membatalkan niat mereka untuk menaklukan Kesultanan Siak, dan memilih untuk tetap menjadikan Kesultanan Siak berdaulat atas wilayahnya setelah Sultan Siak menjamin untuk menghancurkan para perompak yang bersembunyi di wilayahnya.
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Kesultanan Inderagiri yang menjadi vassal dari Kesultanan Aceh.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Sementara pada tahun 1859 Belanda membatalkan niat mereka untuk menaklukan Kesultanan Siak, dan memilih untuk tetap menjadikan Kesultanan Siak berdaulat atas wilayahnya setelah Sultan Siak menjamin untuk menghancurkan para perompak yang bersembunyi di wilayahnya.
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka
dan persaingan dengan beberapa kerajaan lain seperti dengan Kesultanan Aceh,
Kesultanan Johor, Kesultanan Jambi bahkan dengan pihak Inggris dan Belanda
melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah
dikuasainya. Kemampuan Kesultanan Siak dalam melakukan negoisasi menjadikan
kerajaan ini tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa
pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah
tidak berarti lagi.
d.
Bergabung dengan Indonesia
Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang
tidak memiliki putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim
II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.
e.
Struktur pemerintahan
Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem
pemerintahan pada Kesultanan Siak, setelah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri
yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini
memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang
Empat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri
bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi
masyarakatnya. Dewan menteri ini terdiri dari:
1.) Datuk Tanah
Datar
2.) Datuk Limapuluh
3.) Datuk Pesisir
4.) Datuk Kampar
Pada kawasan tertentu dalam Negeri Siak, ditunjuk Kepala
Suku yang bergelar Penghulu, yang dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu
serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan
yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang
tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan
Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam
Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di
Minangkabau terutama pada kawasan pesisir. Dalam pelaksanaan masalah pengadilan
umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang
dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Negeri Siak
serta Controleur Siak sebagai anggota.
Salah satu kitab hukum atau undang-undang di Negeri Siak,
dikenal dengan nama Bab Al-Qawa'id. Kitab ini mengurakan hukum yang dikenakan kepada
masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat
Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah
Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara
bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak telah
membagi beberapa kawasan dalam bentuk distrik yang dipimpin oleh seseorang yang
bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada
Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan
keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yang
bergelar Bendahara Patapahan, serta arsitektur istana Sultan Siak yang dibangun
pada tahun 1889.
f.
Daftar Sultan Siak
Berikut
adalah daftar Sultan Siak Sri Inderapura.
1.)
1.1723-1746 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I
2.)
2.1746-1765 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II
3.)
3.1765-1766 Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah
4.)
4.1766-1780 Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
5.)
5.1780-1782 Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
6.)
6.1782-1784 Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah
Dimakamkan di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia)
7.)
7.1784-1810 Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil
Syaifuddin Baalawi
8.)
8.1810-1815 Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil
Khaliluddin
9.)
9.1815-1864 Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil
Jalaluddin Dipaksa Belanda turun tahta tahun 1864
10.)
10.1864-1889 Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil
Syaifuddin I
11.)
11.1889-1908 Yang Dipertuan Besar Syarif Hasyim Abdul Jalil
Saifuddin[11] Sultan Syarif Hasyim
12.)
12.1915-1946 Yang Dipertuan Besar Syarif Kasyim Abdul Jalil
Saifuddin[13] Sultan Syarif Kasim II Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah
Republik Indonesia
g.
Warisan sejarah
Siak Sri Inderapura
sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan
Istana Siak Sri Inderapura dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886
masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin dan
Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama
untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Nama
Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang,
yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar