KERAJAAN ISLAM DI JAWA
1.
Kesultanan Cirebon : 1445 – 1677
2.
Kesultanan Demak : 1500 – 1550
3.
Kesultan Banten : 1524 – 1813
4.
Kesultanan Pajang : 1568 – 1618
5.
Kesultanan Mataram : 1586 – 1755
1. Kesultanan Cirebon
Letak Kerajaan Cirebon Semula Cirebon
termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah
satu kota pelabuhan kerajaan tersebut (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia ,
2010 : 59 ). Pelabuhan ini sudah ramai dari perahu pedagang-pedagang luar
negeri. Pedagang-pedagang itu antara lain dari arab, persi, malaka, cina, dll.
Letak Kerajaan Cirebon secara geografis di pesisir pantai pulau Jawa, merupakan
mata rantai dalam jalan perdagangan internasional pada waktu itu yang antara
lain membentang dari kepulauan Maluku hingga teluk Parsi (jagad pustaka :
2013). Pedagang yang datang dari berbagai pulau bahkan berbagai Negara. Tidak
heran heran jika pada wilayah ini menjadi jalur perdagangan yang ramai. Melalui
jalan perdagangan dapat mengalir pula arus kebudayaan dan keagamaan, dan konon
menurut cerita orang jalan perdagangan itupun memegang peranan penting dalam
proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa (jagad pustaka : 2013). Karena
banyak pedagang yang datang, salah satunya dari Arab. Pedagang- pedagang dari
Arab itu selain datang untuk berdagang, mereka juga menyebarkan Agama Islam.
b.
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Cirebon
Pada
tahun 1302 cirebon mempunyai 3 daerah otonom di bawah kekuasaan kerajaan
Pajajaran yang masing-masing di kuasai oleh seorang Mangkubumi (Sulendraningrat
, 1978 : 16). 3 daerah otonom itu adalah Singapura atau Mertasinga yang
dikepalai oleh Mangkubumi Singapura. Daerah Pesambangan yang dikepalai oleh Ki
Ageng Jumajan Jati. Dan Daerah Japura yang dikepalai oleh Ki Ageng Japura.
Ketiga daerah otonom tersebut masing-masing mengirimkan upeti setiap tahunnya
kepada kerajaan Pajajaran (Sulendraningrat , 1978 : 16). Semula Cirebon
termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah
satu kota pelabuhan kerajaan tersebut (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia ,
2010 : 59 ). Sekitar tahun 1513 cirebon ini tidak lagi dibawah kekuasaan
Kerajaan Pajajaran, namun sudah di beritakan masuk ke dalam daerah jawa di
bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Saat itu Cirebon di kuasai oleh Lebe Usa Syarif
Hidayatullah atau yang sering di kenal dengan Sunan Gunung Jati telah datang di
Cirebon pada tahun 1470. Syarif Hidayatullah datang untuk mengajarka agama
Islam. Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung. Syarif
Hidayatullah adalah putra dari wanita asal Galuh, Caruban. Wanita tersebut
adalah NhayLara Santang yaitu adik dari Pangeran Cakrabuana pemimpin Cirebon.
Syarih Hidayatullah Mengajarkan agama islam ditemanni dengan uaknya Haji
Abdullah Iman dan pangeran Cakrabumi atau pangeran Cakrabuana. Haji Abdullah
Iman dan Pangeran Cakrabuana sudah lebih dahulu berada atau tinggal di Cirebon.
Syarif Hidayatullah menikah dengan Pakung Wati. Pakung Wati adalah putri dari
Uaknya. Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon
pada tahun 1479. Setelah menikah dan menjadi penguasa Cirebon, Syarif
Hidayatullah membangun atau mendirikan sebuah kraton. Karaton itu diberi nama
Kraton Pakung Wati. Kraton Pakung Wati terletak disebalah timur Kraton Sultan
Kesepuluhan sekarang ini. Syarif Hidayatullah ini terkenak dengan Gelar
Gusuhunan Jati atau sering dikenal dengan Sunan Gunungjati. Syarif Hidayatullah
menjadi saleh seorang dari Wali Sanga. Syarif Hidayatullah mendapat Julukan
Pandita Ratu sejak ia berfungsi sebagai penyebar Agama Islam di tanah Sunda dan
Sebagai Kepala Pemerintahan (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia , 2010 : 59
). Semenjak Syarif Hidayatullah menjadi penguasa di Cirebon, Cirebon
menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Pajajaran di pangkuan. Sejak saat itulah
Cirebon menjadi Kerajaan yang dikepalai oleh Syarif Hidayatullah.
Kerajaan Cirebon berada pada puncak kejayaan
ketika dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah putra wanita asal
Galuh-Caruban yaitu Nhay Lara Santang adik dari Pangeran Cakrabuwana pemimpin
Caruban yang menikah dengan Mauana Sultan Muhammad. Ketika Syarif Hidayat
berusia duapuluh tahun, ia pergi ke Makkah berguru kepada Syeh Tajamudin Al
ubri, di sini ia tinggal selama dua tahun, setelah tamat dari Syeh Tajamudin
kemudian Syarif Hidayat, meneruskan pelajaran kepada Syeh Ataillah Syazalli,
masih di Mekkah juga selama dua tahun (Sunardjo, 1983:51). Ketika Cirebon
mengalami kejayaan pada masa Syarif Hidayatullah sudah tidak diragukan lagi,
karena pengalaman ilmu yang didapat sangat luar biasa. Itu dapat kita lihat
dari beliau mempunyai dua guru besar yang ada di Mekkah. Syarif hidayatullah
juga pernah belajar Tasawuf di Bagdad. Beliau di Bagdad beliau belajar tasawuf selam
dua tahun. Kemudian beliau kembali ke negerinya yaitu Oqnah Yutra. Kemudain
beliau memutuskan untuk pergi ke Jawa karena beliau ingin menjadi mubaligh di
Jawa. Dalam perjalanannya ke pulau Jawa Syarif Hidayatullah sempat singgah di
Gujarat. Setelah dari Gujarat, Srarif Hidayat singgal dan tinngal pula di
Samudera Pasai, sebuah tempat di Aceh yang pada masa itu sudah merupakan
Kerajaan Islam yang cukup besar karena sudah berdiri sejak 1296 (Sunardjo,
1983:52). Mungkin saja ketika di Samudra Pasai Syarif Hidayatullah sedikit
banyak belajar tentang pemerintahan Islam. Karena beliau juga tinggal beberapa
waktu di Samudera Pasai. Jadi tidak heran lagi ketika beliau menjadi pemimpin
di Cirebon dapat membawa pada kejayaan. Kemudian Syarif Hidayatullah melanjutkan
perjalannanya ke Banten, kemudian ke Ampel. Ada bebrapa versi mengapa Syarif
Hidayatullah pergi ke Ampel. Setelah dari Ampel, kemudain beliau mejunu Cirebon
untuk menyiarkan agama Islam atas perintah dari para wali. Menurut Kitab
Purwaka Caruban dalam bukunya R.H. Unang Sumardjo SH dijelaskan bahwa: Syarif
Hidayatullah mendirikan pesantren di Dukuh Sembung masuk wilayah Pasambangan
juga mengajar agama Islam di ampung Badaban (kurang lebih 3 Km arah Barat dari
Pasambangan). Dari keterangan diatas dapat dipastikan bahwa kehadiran Syarif
Hidayatullah di Cirebon sudah dapat diterima oleh pribumi Cirebon itu sendiri.
Karena mustahil ketikan kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon kemudian
mendirikan pesantren tidak mendapatkan persetujuan pribumi Cirebon. Disisi lain
komunikasi yang digunakan oleh Syarif Hidayatullah dapat diterima oleh pribumi
Cirebon. Disisi lain Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Pangeran
Cakrabuwana pemimpin Caruban. Jadi kalau hanya mendirikan pesantren di Cirebon
menjadi hal yang mudah bagi Syarif Hidayatullah. Namun demikian, kemungkina
Syarif Hidayatullah mengajukan usul agar dalam tahun-tahun pertamanya di
Cirebon diberi kesempatan untuk menjadi pendidik/guru dahulu sesuai keputusan
para wali, sebagai pengganti Syeh Datuk Kahfi (Sunardjo, 1983:55). Ini
dilakaukan Syarif Hidayatullah supaya dapat mempelajari tentang masyarkat
Cirebon itu sendiri. Mengapa yang dipilih mendirikan pesantren, dikarenakan
yang pertama adalh keinginan dari Syarif Hidayatullah unuk menjadi mubaligh
dipulau Jawa yang juga dipertegas dengan titah dari para wali untuk mensyiarkan
Islam di tanah Sunda. Selain itu, ketika Syarif hidayatullah menjadi pemimpin
pesatren, beliau dapat mempelajari tentang nilai-nilai ataupun pola kehidupan
masyarakat Cirebon. Diperkirakan pada suatu waktu ada beberapa orang dari
Banten yang sengaja datang ke Pasambangan menemui Syeh Jati (yang sudah dikenal
di Banten karena pernah tinggal di sini beberapa waktu lamanya setibanya dari
Samudera Pasai), dan mengajukan permohonan kepada Syeh jati untuk memberikan
pelajaran Agama Islam di Banten (Sunardjo, 1983:57). Kemungkinan juga sepak
terjang dari Syarif Hidayatullah sundah tersebar luas kabarnya sampai ke
Banten. Karena pada waktu Syarif Hidayatullah berada di Banten setelah dari
Samudera Pasai, beliau tinggal tidak lama. Ketika berada di Banten, Syarif
Hidayatullah diminta untuk segera kembali ke Cirebon oleh Pangeran Cakrabuwana.
Karena kehadiran dan tenaganya sangant dibutuhkan di Cirebon. Ternyata Pangeran
Cakranuwana sudah lama mempunyai rencana dan ingin cepat merealisasikan
rencananya itu untuk menobatkan Syarif Hidayatullah sebagai penguasa di nagari
Caruban menggantikan dirinya (Sunardjo, 1983:59). Yang menjadi pertanyaan
adalah menganpa Pengeran Cakrabuwana memilih Syarif Hidayatullah untuk
menggantikan dirinya. Disini penulis sulit menemukan sumber yang relevan
mengenai masalah itu. Yang pasti bahwa alasan mengangkat Syarif Hidayatullah
menjadi pengganti Pangeran Cakrabuwana tidak slah. Karena sudah jelah mengenai
track record dari Syarif Hidayatullah. Karena juga Syarif Hidayatullah merupaka
keponakan dari Pangeran Cakrabuwana. Penobatan Syarif Hidayatullah menjadi
Tumenggung di Cirebon merupakan era baru bagi Cirebon. Beliaulah yang mengganti
nama Cirebon yang dulunya adalah Caruban, dan diganti dengan Cerbon dan terus
berkembang menjadi Cirebon. Masa kejayaan kerajaan Cirebon di awali dari
perkembangan Islam. Pada masa Syarif hidayatullah Islam berkembang dengan
pesat. Sudah tidak kaget lagi ketika Islam mengalami perkembangan yang pesat.
Memang tujuan utama Syarif Hidayatullah ke pulau Jawa adalah menjadi mubaligh
untuk menyiarkan Islam. Disisi lain gaya komunikasi yang digunakan sehingga
dapat membius pribumi Cirebon untuk masuk Islam. Silsilah dari Syarif Hidayatullah
juga yang dapat dengan mudah menjadi keyakinan pribumi beliau, yaitu cucu dari
Prabu Siliwangi. Kejayaan kerajaan Cirebon tidak lepas dari campur tangan
Pangeran Cakrabuwana. Menurut perkiraan beberapa waktu sebelum penobatan,
syarif Hidayatullah dengan Pangeran Cakrabuwana telah membicarakan tentang
berbagai konsep pembangunan negara serta beberapa rencana operasional
(Sunardjo, 1983:60). Sudah pasti Syarif hidayatullah melaksanankan
konsep-konsep yang telah dirancang bersama dengan Pangeran Cakrabuwana.
Berdasarkan perkiraan dengan memperhatikan temuan-temuan dilapangan dan
uraian-uraian dalam itab Purwaka Caruban Nagari yang tertulis dalam bukunya
Unang Sunadjo menyebutkan bahwa: azaz pemerintahandi wilayah Cirebon adalah
berazaz desentralisasi. Sedangkan polanya yang utama adalah pola pemerintahan
kerajaan di pesisir, di mana pelabuhan menjadi bagian yang sangat penting dan
pedalaman menjadi penunjang yang sangat vital. Dari uraian diatas dapat di
ambil inti sari bahwa hubungan antara daerah pesisir yaitu pelabuhan, dengan
daerah pedalaman (sektor pertanian dan pemasaran) saling berkaitan.
Komoditi-komoditi yang masuk dari pelabuhan dibawa ke daerah pedalaman untuk
dijual. Begitu juga ketika komoditi dari sektor pertanian akan di ekspor
melewati pelabuhan. Pada masanya, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan,
makin maju. Pada masa itu terjadi penyebaran Islam ke Banten (sekitar
1525-1526) dengan penempatan putra Syarif Hidayatullah , yaitu Maulana
Hasanuddin, setelah meruntuhkan pemerintahan Pucuk Unum, penguasa kadipaten
dari kerajaan Sunda Pajajaran yang berkedudukan di Banten Girang. Setelah
Islam, pusat pemerintahan Maulana Hasanuddin terletak di Surowan dekat muara
Cibanten (Tjandarsasmita, 2009:164) Sudah jelas bahwa Syarif Hidayatullah
memperluas wilayah dengan penyerangan daerah-daerah kecil untuk menyabarkan
Islam. Ini penting untuk dilakukan supaya Islam dapat tersebar dengan cepat.
Upaya ini juga untuk mendapatkan pengaruh yang kuat dari wilayah-wilayah lain
di Jawa bagian barat. Pada suatu ketika Syarif Hidayatullah pergi ke Demak
untuk membantu membangun masjid Demak. Syarif Hidayatullah menyumbang tiang
masjid yang sekarang dikenal dengan Saka Guru. Ketika merujuk dari sumbangsi
Syarif Hidayatullah dalam pembangunan masjid Demak, ini merupakan salah satu
strategi dari Syarif Hidayatullah dalam melakukan hubungan abatar kerajaan.
Karena pada waktu itu di Demak juga berdiri kerajaan yang besar dibawah
pimpinan Raaden Patah. Hubungan ini dilakukan supaya eksistensi dari Cirebon
dapat terjaga. Ketika berada di Demak dan juga para wali berkumpul, mungkin
Syarif Hidayatullah menyempatkan untuk membahas maslah-masalah
kerajaan-kerajaan yang masih belum terdapat agama Islam. Setibanya di Cirebon,
Syarif Hidayatullah mengadakan rapat yang menghasilkan kebijakan politik, sikap
politik kerajaan Cirebon terhadap kerajaan Pajajaran yaitu tidak bersedia lagi
mengirim upeti (bulubhekti) kepada Pajajaran yang disalurkan melalui Adipati
Galuh (Sunardjo, 1983:67). Sikap ini secara tidak langsung Cirebon menyatakan
kemerdekaannya. Karena sudah melepaskan diri dari Pajajaran dengan cara tidak
lagi mengirim upeti. Ketika kita melihat kembali silsilah dari Syarif
Hidayatullah, penguasa Pajajran pada waktu itu adalah Prabu Siliwangi, yaitu
kakeknya sendiri. Tindakan ini awalnya mendapat respon keras dari Prabu
Siliwangi, akan tetapi kemudian Prabu Siliwangi seakan-akan membiarkan
keputusan yang diambil oleh Syarif Hidayatullah. Karena Prabu Siliwangi
menghindari perang saudara. Mungkin juga dikarenakan hubungan antara Cirebon
dengan Demak yang semakin erat. Sehingga Prabu Siliwangi tidak dapat mengambil
sikap keras. Sejak Syarif Hidayatullah bandar Cirebon makin ramai baik untuk
berhubungan laut antar Persi-Mesir dan Arab, Cina, Campa dan lainnya
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:62). Keraimain di bandar Cirebon
sudah menjadi bukti nyata kebesaran Cirebon dikancah internasional. Terbukti
dengan banyaknya pedagang dari berbagai negara. Ketika bandar Cirebon pada
puncak keramaiannya, pasti ada halangan. Mungkin dari bajak laut ataupun yang
lain. Susuhunan Jati segera mengirim pasukan menumpas Bajak Laut ini dengan
menyeran pangkalannya. Pasukan Cirebon yang berkekuatan dua ribu tjuh ratu
orang dipimpin oleh Dipati Keling (Sunardjo, 1983:68). Tindakan ini sangat dibutuhkan
untuk menjaga keamanan bandar Cirebon. Apabila Syarif Hidayatullah tidak
mengambil tindakan tegas, maka bandar Cirebon dalam bahaya yang berakibat
bandar menjadi sepi. Pada tahun 1527 pasukan Demak di bawah pimpina Faletehan
dengan bantuan pasukan Cirebon, Dipati eling, dan Dipati Cangkuang berhasil
menaklukan Sunda Kelapa, sejak itu namanya diganti dengan Jayakarta dan
Faletehan diangkat sebagai kepala pemerintah yang pertama (Kosoh dkk. 1979:82).
Ketika pemimpin suatu daerah Islam, maka masyarakat yang berada di wilayah itu
juga memeluk Islam. Begitu juga dengan Jayakarta, Faletehan segera
meng-Islamkan masyarakat Jayakarta. Sehingga masyarakat pesisir utara Jawa
sudah memeluk Islam. Dengan masuknya bandar-bandar kerajaan Pajajaran seperti
Banten tahun 1526, Kalapa, tahun 1527 maka seluruh utara Jawa Barat telah ada
dalam kekeuasaan Islam (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:63). Akibat
keadaan seperti ini maka bandar-bandar termasuk Cirebon menjadi tempat
perdagangan internasinal. Sebagai mana lazimnya pada masi itu, maka setelah
dicarikan waktu yang tepat Susuhunan Jati mengeluarkan keputusan untuk
membangun sebuah mesjid yang besar sebagaimana halnya di Demak (Sunardjo,
1983:74). Dengan demikian sudah jelas bahwa Cirebon dibawah kepemimpina Syrif
Hidayatullah yang juga seorang wali berhasil mempercepat perkembangan Cirebon
sebagai syiar Islam dan juga perdagangan. Seperti yang dijelaskan oleh RH Unang
Sunardjo dalam bukunya yang menjelaskan:
1.)
Telah
terpenuhinya prasarana dan sarana pisik essensial pemerintahan dan ekonomi
dalam ukuran suatu Kerajaan Pesisir.
2.)
Telah
dikuasainya daerah-daerah belakang (hinterland) yang dapat diharapkan mensuplay
bahan pangan termasuk daerah penghasil garam, daerah yang cukup vital bagi
income nagari pesisir dengan luas yang memadai.
3.)
Telah
adanya sejumlah pasukan lasykar dengan semangat yang tinggi, yang dipimpin oleh
para panglima (dipati-dipati) yang cukup berwibawa dan bisa dipercaya
loyalitasnya.
4.)
Adanya
sejumlah penasehat-penasehat baik dibidang pemerintahan maupun agama.
5.)
Terjalinnya
hubungan antar negara yang sangat erat antar Cirebon dengan Demak.
6.)
Mendapat
dukungan penuh dari para wali.
7.)
Tidak
terdapat indikasi tentang ancaman Prabu Siliwangi untuk menghancurkan
eksistensi cirebon. Dari uraian diatas dapat dijadikan acuan bahwa Cirebon pada
masa Syarif Hidayatullah berada dalam kejayaannya. Sunan Gunung Jati wafat pada
tahun 1568 dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga dikenal dengan makam
Gunung Jati (Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010:60). Kemudian
digantikan oleh Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga.
1.)
Kondisi
Sosial Kerajaan Cirebon
Perkembangan
Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah
bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di
Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang
ada antara lain, golongan raja beserta keluargana, golongan elite, golongan non
elite, dan golongan budak (Sartono Kartodirdjo, 1975:17). A.1 Golongan Raja
Para raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun mengatur
pemerintahan dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada awal perkembangan
Islam masih digunaka, tetapi kemudian diganti dengan gelar Sultan akibat adanya
pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat juga gelar lain seperti Adipati,
Senapati, Susuhunan, dan Panembahan (Kosoh dkk, 1979:96). Raja atau Sultan sebaai
penguasa terinnggi dalam pemerintahan memiliki hubungan erat dengan pejabat
tinggi kerajaan seperti senapati, menteri, mangkubumi, kadi, dan lain
sebagainya. Pertemuan antara raja dengan pejabat ataupun langsung dengan rakyat
tidak dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di muka umum kecuali pada waktu
audiensi/pertemuan juga pada waktu acara penobatan mahkota, pernikahan raja,
dan putra raja (Sartono Kartodirdjo, 1975:17). A.2 Golongan Elite Golongan ini
merupakan golongan yang mempunyai kedudukan di lapisan atas yang terdiri dari
golongan para bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan pedagang. Diantara para
bangsawan dan pengusa tersebut, patih dan syahbandar memiliki kedudukan
kedudukan penting. Di Cirebon, pernah ada orang-orang asing yang dijadikan syahbandar
dan mereka memempati golongan elite. Hal ini dipertimbangkan atas suatu dasar
bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang perdagangan
dan hubungan internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama juga
memiliki memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya berperan sebagai
penasehat raja (Kosoh dkk, 1979:99). A.3 Golongan Non Elite Golongan ini
merupakan merupakan lapisan masyarakat yang besar jumlahnya dan terdiri dari
masyarakat kecil yang bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang,
nelayan, dan tentara bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya. Petani dan
pedagang merupakan tulang punggung perekonomian, dan mereka mempunyai peranan
sendiri-sendiri dalam kehidupan perekonomian secara keseluruhan (Kosoh dkk,
1979:99). A.4 Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang yang bekerja
keras, menjual tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya golonga
buak tersebut disebabkan karena seseorang yang tidak bias membayar utang,
akibat kalah perang. Golongan budak menempati status sosial paling rendah,
namun mereka juga diperlukan oleh golongan raja maupun bangsawan untuk melayani
keperluan mereka. Mereka dipekerjakan dalam membantu keperluannya dengan
menggunakan fisik yang kuat. Mereka harus taat pula dengan peraturan yang
dibuat oleh majikannya. Namun bagi mereka yang nasibnya baik dan bisa membuat
majikan berkenan maka mereka bisa diangkat sebagai tukang kayu, juru masak dan
lain sebagainya (Kosoh dkk, 1979:100).
2.)
Kondisi
Budaya Kerajaan Cirebon
Agama
Islam mengajarkan agar para pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan
ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk
ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini
penuh dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam
upacara yang biasanya disebut kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131).
Membahas masalah budaya, maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon memiliki
beberapa tradisi ataupun budaya dan kesenian yang hingga sampai saat ini masih
terus berjalan dan masih terus dlakukan oleh masyarakatnya. Salah satunya
adalah upacara tradisional Maulid Nabi Muhammad SAW yang tela ada sejak
pemerintahan Pangeran Cakrabuana, dan juga Upacara Pajang Jimat dan lain sebagainya.
B.1 Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,±
700 tahun setelah beliau wafat (P.S. Sulendraningrat, 1978:85) upacara ini
dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai peringatan hari kelahiran kepada
junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud berasal dari
bahasa Arab “Maulid” yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara Maulid Nabi
di Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan Sunan Gunung
Jati upacara ini dilakukan dengan besar-besaran. Berbeda dengan masa
pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang hanya dilakukan dengan cara sederhana.
Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun hingga sekarang
yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara “IRING-IRINGAN PANJANG
JIMAT” (P.S. Sulendraningrat, 1978:86). B.2 Upacara Pajang Jimat Salah satu
upacara yang dilakukan di Kerajaan Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang
Jimat memiliki beberapa pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan,
yakni setiap tahun, dan Jimat yang berarti, dipuja-puja
(dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW (P.S. Sulendraningrat, 1978:87). Pajang Jimat merupakn sebuah
piring besar (berbentuk elips) yang terbuat dari kuningan. Bagi Cirebon Pajang
Jimat memiliki sejarah khusus, yakni benda pusaka Kraton Cirebon, yang
merupakan pemberian Hyang Bango kepada Pangeran Cakrabuana ketika mencari agama
Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat pada Kraton Cirebon dilakukan pada tanggal
12 Rabiul Awal, setelah Isya’, upacara penurunan Pajang Jimat dilakukan oleh
petugas dan ahli agama di lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat dimulai dari
ruang Kaputren naik ke Prabayaksa dam selanjutnya diterima oleh petugas khusus
yang telah diatur. Adapun tatacara dan atribut dalam upacara Pajang Jimat,
diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Beberapa lilin dipasang diatas
standarnya. 2. Dua buah manggaran, dan buah nagan da dua buah jantungan. 3.
Kembang goyak (kembang bentuuk sumping) 4 kaki. 4. Serbad dua guci dan duapuluh
botl bir tengahan. 5. Boreh/parem. 6. Tumpeng. 7. Ancak sangar (panggung) 4
buah yang keluar dari pintu Pringgadani. 8. 4 buah dongdang yang berisi
makanan, menyusul belakangan, keluar dari pintu barat Bangsal Pringgandani, ke
teras Jinem. Upacara irig-iringan Pajang Jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon ini
sebagai gambaran peranan seorang dukun bayi (bidan). Jam 24.00 Pajang Jimat
kembali dari Langgar Keraton masukke Kraton dengan melalui pintu sebelah barat
menuju Kaputren, maka berakhirlah acara Upacara Maulid Nabi (P.S.
sulendraningrat, 1978:87-94). B.3 Seni Bangunan dan Seni Ukir Seni bangunan dan
seni ukir yang berkembang di kerajaan Cirebon tak lepas dari perkembngan seni
pada zaman sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak menunjukkan
pola zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah
ukiran pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan
masjid tampak asli pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu masjid.
Demikian pula dengan makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman sebelumnya.
Yakni berbentuk bertingkat dan ditempatkan di atas bukit-bukit menyerupai meru
(Kosoh dkk, 1979:100). B.4 Seni Kasusasteran Diantara seni bangunan dan seni
tari, terdapat juga seni kasusasteran yang berkembang. Diantarnya adalah seni
tari, seni suara, dan drama yang mengandung unsur-unsur Islam. Seni
kasusasteran yang berkembang ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya
saja seni tari, yang diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun
mengandung unsur-unsur Islam (Kosoh dkk, 1979:100).
1.)
Ekonomi
Sebagai
sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon
mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak
Bandar-bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari
luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai tempat jual beli barang dagangan.
Dari artikel yang ditulis oleh Uka Tjandrasasmita, yang dibukukan dalam sebuah
buku kumpulan artikel oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta.
Dituliskan sebuah artikel yang berjudul “Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar
Dunia”, dalam artikelnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu: Bandar Cirebon masa
pra-islam, Bandar Cirebon masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan islam, dan
masa pengaruh kolonial.
Pada
masa pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada
masa ini pula terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan
bandar Muhara Jati. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain
berasal dari Cina, Arab, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires
(1513) Cirebon masih berkeyakinan Hindu-Buddha. Pada saat ini Ciebon masih
dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut cerita tradisi Cirebon
mulai memeluk agama islam sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji Purba.
Pada abad 14 M perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang
muslim.
Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh
informasi bahwa terjadi perpindahan Bandar perdagangan. Bandar dagang yang
dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di dukuh Pasambangan dipindah
kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar dagang dipindahkan,
menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya.
Caruban sendiri dibangun o0leh Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi
sebagai kuwu dan seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di
Cirebon makin ramai dan makin baik untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab,
Cina, Campa, dan lainnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di
Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan diadakannya perjanjian antara Belanda
dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon selalu akan memelihara kepercayaan
terhadap Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon, dikuasai
Belanda, hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon.
Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya
yaitu kebijakan menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur.
Juga dengan surat perintah tanggal 1 Maret 1729.
Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak
kesultanan sendiri dalam menjalankan perekonomian terutama terhadap
komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak ditangan Belanda. Hal
itu semuanya jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda sejak
perjanjian tahun 1981 dan seterusnya. Dengan perjanjian-perjanjian tersebut
Belanda sejak Kompeni menginginkan penguasaan atas daerah subur produksi kopi
dan lainnya dapat terlaksana, disamping rasa ketakutannya terhadap penguasaan
daerah Priangan Timur itu dikuasai oleh Banten dan juga Mataram (Departemen
Pendiidikan dan Kebudayaan, 1997:67).
Selain yang telah dibahas diatas, keadaan
ekonomi yang diterangkan oleh Uka Tjandrasasmita. Dapat dilihat pula keadaan
perekonomian dari sumber lainnya. Selain perdagangan dan pelayaran.
Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan masyarakatnya yang menjadi
nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon juga memiliki
satu komoditi dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.
Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran
dari orang asing. Orang asing tersebut menjadi syahbandar atau yang mengantur
tentang ekspor impor perdagangan. Cirebon yang menjadi syahbandarnya yaitu
orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar diambil dari orang-orang asing,
karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui tentang cara-cara
perdagangan. Di kota Cirebon juga terdapat pasa tertua yaitu pasar yang
terletak di timur laut alun-alun kraton Kasepuhan dan lainnya di sebelah utara
alun-alun kanoman.
2.)
Politik
Perkembangan politik yang terjadi pada
Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan Demak. Hal inilah yang
menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi Dipati
Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Kosoh, dkk (1979:94) Babad
Cirebon menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji
Abdullah yang menyebarkan agama islam di kota tersebut sehingga
upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan.
Selain hubungannya dengan Demak, kehidupan
politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh beberapa konflik. Konflik yang
terjadi ada konflik internal dan menjadi vassal VOC.
Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan
Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri dari kerajaan Sunda tahun 1482.
Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan kepemimpinannya digantikan oleh
anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa kepemerintahannya,
Panembahan Ratu menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan datangnya VOC di
Batavia.
Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai
ulama dari pada sebagai raja. Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu
menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram .Setelah wafat pada tahun 1650,
dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran
Karim yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II
karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu (Nina:
online).
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo,
Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari kesultanan Banten ke Kediri.
Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan menyebabkan dia meninggal
dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa
ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun,
kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk
menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang
berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom,
juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan
Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan
saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa
tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri
menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian
Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan (Nina: online).
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari
1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah, urusan perdagangan diserahkan
kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian sultan,
penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para
Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai
upacara, pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan.
Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat
banyak perubahan, khususnya di bidang politik. Pada tahun 1696,
Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi Sultan. Pada Tahun 1768 kesultanan
Cirebon dibuang ke Maluku.
Situasi politik Cirebon yang sudah
terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal yang menarik,
bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak
berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon,
sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia
diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia
menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
Pada tahun 1649 Panembahan Ratu Pangeran Emas
telah meninggal pada usia 102 tahun. Dengan wafatnya Dipati Cerbon ke II, maka
panembahan ratu menunjuk cucunya yaitu Pangeran Karim untuk membantunya
menjalankan roda pemerintahan Cerbon Menggantikan ayahnya yaitu Dipati Cerbon
ke II. Pangeran Karim waktu itu berusia 48 tahun menggantikannya sebagai Kepala
Pemerintahan Cerbon yang ke III dengan gelar Panembahan Ratu II.
Karena beliau wafat di Mataram sekitar tahun
1667 dan dimakamkan di pemakamn di bukit Girilaya, maka disebutlah beliau oleh
anak keturunannya dengan sebutan Panembahan Girilaya. Akhirnya nama Panembahan
Girilaya itulah yang disebut terus menerus dalamberbagai sumber sejarah, baik
dalam Babad Cirebon, Sejarah Cirebon, Kitab Negara Kertabumi, maupun Kitab
Purwaka Caruban Nagari. Oleh Karena itu nama Panembahan Girilaya lebih terkenal
dari pada gelar resmi pada waktu penobatannya yaitu Panembahan Ratu ke
II.
Pada saat Panembahan Ratu masih hidup beliau
mengawinkan Panembahan Girilaya dengan Putri Sunan Amangkurat ke 1 tapi, untuk
masalah kapan diselenggarakannya pernikahan ini sendiri tidak jelas, karena
saat itu Sunan Amangkurat ke 1 baru naik tahta. Dan jika melihat pada
literature lain itu adalah perkawinan kedua Panembahan Girilaya.
Padaperkawinannya yang pertama beliau dikaruniai 2 orang anak yang bernama Panembahan
Katimang dan Pangeran Gianti sedang pada perkawinan ke II mendapat 3 orang anak
yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu
hubungan antara Cirebon dan Mataram sangat Harmonis dan itu terjadi hamper
selama 6 tahun. Tetapi setelah Cirebon dipimpin Panembahan Girilaya hubungan
yang tadinya harmonis berubah menjadi agak merenggang karena perubahan sikap
dari Amangkurat 1 yang beranggapan bahwa Cirebon tak lebih baik atau tidak
sederajat dengan Mataram. VOC yang mengetahui kerenggangan hubungan antara
Mataram- Cirebon memanfaatkan benar peluang ini untuk mengadu domba mereka.
Dalam waktu yang singkat strategi politik “Adu Domba” VOC bisa membuat
kesemrawutan dalam tubuh Kerajaan Mataram.
Dalam kondisi yang serumit itu Sunan
Amangkurat 1 diduga berusaha denga keras mengatasinya dengan tindakan
“pembersihan dan penertiban” yang pada nyatanya dilakukan dengan kejam dan
kekerasan. Tindakan itu memakan banyak korban sehingga Panglima Angkatan Perang
Mataram yang diandalakan ayahnya sendiri yaitu Dipati Anom yang
sekaligus putra Mahkota mulai membenci dan meninggalkan Sunan Amangkurat 1.
Pada saat yang seperti itu Mataram mendapat
kunjungan dari Panembahan Girilaya beserta 2 orang anaknya Pangeran Martawijaya
dan Pangeran Kertawijaya serta pengawalnya yang diperkirakan pada tahun
1666/1667. Namun alasan Panembahan Girilaya mengunjungi Mataram dan sampai di
sana (diperkirakan pada saat berumur 66 tahun) tidak ada penjelasan yang pasti.
Setelah kejadian wafatnya Panembahan Girilaya kedua anaknya yang ikut ke
Mataram tadi ditahan dan dibawa oleh Trunojoyo pada tahun 1678 dari Mataram ke
Kediri. Sejak wafatnya Panembahan Girilaya Cirebon telah terpecah belah dan
hancur sehingga tidak mempunyai wibawa lagi dan akhirnya menjadi mainan
belanda, mataram dan banten.
Tidak berhenti disini timbul masalah baru
yakni para kerabat Kerajaan yang setia pada Panembahan Girilaya yang tidak
terima akan kemunduran Cirebon meminta bantuan dari Sultan Ageng Tirtayasa Dari
Banten. Dan untuk mengisi kekosongan dengan cepat dan dengan pertimbangan yang
matang Sultan Ageng Tirtayasa menetapkan pejabat Kepala Negara Cirebon yaitu
anak ketiga Panembahan Girilaya yaitu adalah Pangeran Wangsakerta yang pada
waktu itu tidak ikut kedalam kunjungan ke Mataram dinobatkan sebagai Sultan
Cirebon oleh Sultan Banten.
Pada saat itu setelah Trunojoyo dapat memukul
mundur pasukan Cirebon dan dapat membuat ketakutan serta membuat lari Sunan
Amangkurat 1. Hilanglah kekuasaan Mataram yang Kejam dan Otoriter dan pada saat
itu atas permintaan Sultan Banten, Sultan Banten meminta Trunojoyo membawa dua
putra mahkota pesakitan itu untuk dibawa ke Kediri dan selanjutnya dibawa ke
Banten. Selanjutnya karena kurangnya keterangan yang jelas proses kembalinya 2
pangeran itu ke Cirebon kurang jelas dan pula penobatannya Pangeran Martawijaya
sebagai Sultan Sepuh dengan gelar Raja Syamsudin dan Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Anom dengan gelar Sultan Mahmud Badridi.
Dengan adanya tiga sultan di Kerajaan Cirebon
ini adalah titik dari masa akhir Kerajaan Cirebon. Pada masa itu sudah ada
usulan untuk membagi kerajaan menjadi 3 bagian tapi apa mau dikata
ketidaksepahamlah yang didapat , karena masing masing mempunyai minat yang sama
untuk menjadi sultan Cirebon. Pada tahun 1681 tepatnya 23 Januari
dilaksanakanperjanjian persahabatan antara Sultan-Sultan Cirebon
dengan pihak VOC yang diwakili oleh Van Dyck.
Dari penandatanganan itu mengandung arti
besar, karena peristiwa itu menjadi akar dari konflik baru dicirebon. Menurut
keterangan P.S. Sulendranigrat dalam bukunya “Sejarah Cirebon” peristiwa
penandatanganan inimenimbulkan perpecahan dari para pembesar pemerintahan di
Cirebon tentunya adalah pro dan kontra diadakannya penandatangan perjanjian
persahabatan tersebut. Dan setelah VOC bubar tahun 1800 maka Gubernur Jenderal
Daendles menetapkan langkah strategis dengan mengeluarkan Reglement op het
beheer van de Cheribonsche Landen pada 2 februari 1809 dan
dengan keluarnya itu tadi maka Sultan-Sultan di Cerbon yaitu
Kasepuhan , Kanoman dan Kacirebonan tidak memiliki kekuasaan lagi karena
dijadikan Pegawai Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada saat akan keluar
keputusan Pemerintah Kolonial Belanda , maka di Kesultanan Kanoman terjadi
peristiwa pemecahan diri Kanoman menjadi Kanoman dan Kacerbonan. Dengan Fakta
diatas dapat kita ketahui faktor faktor penyebab runtuhnya kerajaan Cirebon.
Kesultanan
Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati, aktivitasnya berkembang sampai
kawasan Asia Tenggara. Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota
perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke
Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya
yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut.
Meskipun
sebagai pusat kerajaan Islam, Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan yang
terbuka. Secara turun-temurun kesultanan ini selalu menjalin hubungan antar
bangsa baik dalam hubungan dagang maupun politik. Bukti keterbukaan itu
terlihat di Keraton Pakungwati, dimana dinding-dinding singgasana keraton
banyak ditempel panel-panel keramik buatan Cina maupun Eropa (Belanda) yang
menggambarkan pernik-pernik budaya dua negara itu. Bahkan di dinding itu pula
tertempel panel kisah kelahiran sampai penyaliban Yesus Kristus.
Persahabatan
antarbangsa juga digambarkan secara nyata dalam bentuk kereta kerajaan yang
bernama Kereta Singobarong. Kereta tersebut memiliki bentuk tubuhnya
seperti buroq, berkepala gajah dan bermahkotakan naga. Kereta antik ini
memiliki ukiran sangat halus yang mencerminkan paduan tiga budaya, yaitu budaya
Cirebon terkenal dengan relief khas mega mendung, dan budaya negara sahabat
Kerajaan Cirebon tempo dulu yaitu Thailand dan Mesir. Kereta buatan abad ke-15
ini masih tersimpan rapi di Museum Kereta.
Satu
lagi contoh peninggalan dari kebesaran Kesultanan Cirebon adalah Pedati Gede.
Letak pedati ini kini tidak tersimpan di dalam keraton, melainkan di tengah
perkampungan. Pedati Gede ini pernah pernah menjadi andalan transportasi di
Jawa tempo dulu. Mungkin ini merupakan pedati terbesar di dunia. Panjang
total dari pedati ini adalah 8,6 meter, dengan tinggi 3,5 meter dan lebar
2,6 meter. Pedati itu memiliki enam roda besar berdiameter 2 meter dan dua roda
kecil berdiameter 1,5 meter. Panjang jari-jari roda besar 90 cm dan panjang
jari-jari roda kecil 70 cm. Pedati Gede adalah rancang bangun teknologi pada
zamannya. Roda pedati ini dihubungkan oleh semacam as yang terbuat dari kayu
bulat berdiameter 15 cm. As ini kemudian dimasukkan ke dalam poros yang
dipasang di setiap roda, yang juga terbuat dari kayu. Agar pertemuan as bisa
licin bertemu dengan poros, digunakanlah pelumas yang menggunakan getah pohon
damar. Pedati ini juga dapat dibongkar pasang sesuai kebutuhan daya angkut.
Misalnya pedati ini membutuhkan rangkaian pedati yang lebih panjang lagi, maka
secara cepat dapat dipasang rangkaian pedati tambahan di belakangnya (seperti
kereta api). Pedati Gede ini dulu ditarik kerbau bule yang diyakini punya
kekuatan lebih dibanding kerbau biasa. Pedati ini dibuat pada masa pemerintahan
Cakrabuana di Cirebon dan masih dipakai hingga saat pemerintahan Sunan Gunung
Jati. Penggunaan pedati seperti Pedati Gede ini makin berkembang sampai pada
pemerintahan Panembahan Ratu I. Hal ini dikarenakan rakyat biasa yang
ingin mencontoh teknologi Pedati Gede, diperbolehkan untuk membuat pedati
sendiri sebagai alat transportasi. Pedati Gede teruji sebagai alat transportasi
andal ketika kereta ini menjadi alat angkut bahan-bahan bangunan saat
pembangunan Masjid Agung Ciptarasa tahun 1522. Selain sebagai
alat transportasi, pedati-pedati ini juga bisa menjadi tameng dari
serbuan-serbuan musuh.
Mesjid
Agung Ciptarasa (mesjid terua ke-2 di wilayah Cirebon) sampai sekarang masih
berdiri megah, artistik dan antik di sebelah kiri bangunan Keraton Kasepuhan,
meskipun Masjid Agung Ciptarasa ini tidak dibuat dengan fondasi yang modern. Di
samping mesjid ini (oleh masyarakat sering disebut Kaum) terdapat
sumur tua sedalam kira-kira 10 meter yang digali oleh para santri murid Syarif
Hidayatullah. Air sumur ini tak pernah surut meskipun di musim kemarau dan
sangat jernih.
Mesjid
yang dibangun dengan tiang dari serpihan kayu jati ini dibuat atas prakarsa Syarif
Hidayatullah. Keunikan yang lain dari bangunan ini adalah waktu pembuatannya
yang hanya 1 malam (bersamaan dengan Mesjid Demak). Pembangunan mesjid ini
dilakukan semalam suntuk oleh Syarif Hidayatullah dan dibantu oleh para
santrinya. Pada saat mesjid ini dibangun, terdapat gangguan dariMenjangan
Wulung (mahluk halus yang berwujud seekor binatang, yang menyebarkan
penyakit kuman, racun hingga salah satu dari pekerja mesjid ini meninggal
dunia). Untuk mengusir mahluk ini, Syarif Hidayatullah menyuruh 7 orang muazin
(pengumandang adzan) untuk melakukan adzan bersama-sama. Setelah dikumandangkan
adzan tersebut (dikenal dengan istilah adzan pitu), Menjangan Wulung
terbang ke angkasa dan tak berani lagi menyebarkan kuman penyakit kepada para
pekerja mesjid. Adzan Pitu ini sampai sekarang masih dikumandangkan setiap
Shalat Jum’at.
Di
samping negara yang terbuka, Cirebon juga sudah mengenal tata pemerintahan dan
jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan yang jelas. Masyarakat kecil yang
jumlahnya 20 somah dipimpin oleh Ki Buyut. Beberapa Ki Buyut dipimpin oleh
seorang Kuwu, beberapa Kuwu dipimpin olehKi Gede, dan beberapa Ki Gede
dipimpin oleh bupati adipati atau Tumenggung. Masing-masing
pejabat diberi gaji tanah (palungguhan) yang ukurannya sesuai dengan jabatannya
masing-masing.
Menurut Naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari (1720) yang ditulis oleh Pangeran Aria
Cirebon disebutkan bahwa :
Asal
mula kata "Cerbon" adalah "Caruban" yang artinya campuran.
Campuran disini untuk menandakan bahwa wilayah ini sangat banyak pendatang dari
berbagai etnis seperti Sunda, Jawa, Cina, Arab. Tidak hanya etnis yang
bercampur, akan tapi berbagai agama juga disini bercampur. Kata “Caruban”
mengalami proses perubahan lagi menjadi "Carbon", lalu berubah
menjadi kata "Cerbon", dan akhirnya kini menjadi kata
"Cirebon". Para wali menyebut Carbon sebagai "Pusat Jagat",
negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat
menyebutnya "Negeri Gede". Kata ini kemudian berubah pengucapannya
menjadi "Garage" dan berproses lagi menjadi "Grage".
Sedangkan
menurut P.S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon,
menyebutkan :
Munculnya
istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran
Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata "Cirebon" berdasarkan kiratabasa
dalam Bahasa Sunda berasal dari "Ci" artinya "air" dan
"rebon" yaitu "udang kecil" sebagai bahan pembuat terasi.
Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang,
Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berikut
ini merupakan urutan raja-raja yang memerintah di Kesultanan Cirebon :
a.
Syarif
Hidayatullah / Sunan Gunung Jati (1522 - 1568)
Saat
penobatan Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon pertama dan
digelari Susuhunan Jati Purba Wisesa atau Sunan
Jati atau Sunan Caruban, acara itu dihadiri oleh para wali dan Sultan
Demak.
Ketika
selesai penobatan, Pasukan Demak disiagakan di Cirebon untuk mengantisipasi
akan datangnya serangan dari Pajajaran. Pendeklarasian Kesultanan Cirebon yang
merdeka ini memang tanpa sepengetahuan dari Pajajaran. Tentu saja sebagai
kerajaan besar yang mendominasi seluruh wilayah di barat Jawa, Pajajaran yang
saat itu telah dipimpin oleh Surawisesa merasa “dilangkahi” oleh peristiwa itu.
Pada
saat pemerintahan Syarif Hidayatullah, terjadi peristiwa yang cukup menyedihkan
bagi Cirebon. Putra Syarif Hidayatullah dari Nyi Lara Baghdad yang bernama
Prabu Bratakelana tewas setelah bertempur dengan bajak laut yang berada di
wilayah Cirebon. Peristiwa itu berawal ketika Pangeran Bratakelana yang
bermaksud pulang ke Cirebon dari Demak, tiba-tiba rombongannya dihadang oleh
Bajak laut di daerah Gebang.
Syarif
Hidayatullah kemudian mengerahkan sekitar 2.700 pasukan yang dipimpin oleh
Dipati Keling, Pangeran Cerbon, dan Ki Gedeng Bungko. Bajak Laut akhirnya
dapat ditumpas habis, sedangkan jenazah Pangeran Bratakelana ditemukan di tepi
pantai Mundu sebelum akhirnya dimakamkan di sana. Atas peristiwa itu, Pangeran
Bratakelana kemudian dikenal dengan namaPangeran Seda Ing Lautan (Pangeran
Sedang Laut). Sedangkan istrinya yang bernama Ratu Nyawa, kemudian dinikahi
oleh Pangeran Pasarean.
Selain
perluasan wilayah, di masa kekuasaan Syarif Hidayatullah, Kesultanan Cirebon
sangat gencar dalam hal penyebaran agama Islam. Penyebaran Islam tidak hanya di
wilayahnya saja tetapi sudah menjamah hingga ke daerah-daerah sekitarnya bahkan
telah sampai juga ke ibukota Pajajaran.
Usaha penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah semakin gencar
karena usahanya itu didukung oleh para wali lainnya (termasuk Syarif
Hidayatullah, dikenal dengan istilah wali songo / 9 wali).
Pada
saat penyebaran agama Islam di barat Jawa terjadi, di Demak terjadi penyebaran
aliran yang dianggap sesat oleh Syekh Siti Jenar. Beliau mendirikan Kerajaan
Pengging yang beraliranWihdatul Wujud / Manunggaling Kawula
Gusti (ajaran Syekh Siti Jenar) dan melepaskan diri dari pengaruh Demak
yang bermazhab Syafi’i. Syekh Siti Jenar kemudian dianggap beraliran sesat dan
menjadi buronan Kesultanan Demak. Syekh Siti Jenar kemudian bersembunyi di
wilayah Kerajaan Cirebon Girang. Namun Senapati Demak yaitu Sunan
Kudus akhirnya berhasil menangkap Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang untuk
kemudian diadili di Masjid Agung Ciptarasa, Kesultanan Cirebon.
Peristiwa
pengadilan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga, berlangsung ricuh akibat
Syekh Siti Jenar (bersama para pengikutnya) dan para wali yang beraliran
Syafi’i masing-masing mempertahankan keyakinannya masing-masing. Untungnya,
Syarif Hidayatullah / Sunan Gunungjati sebagai tuan rumah dapat mengatasi huru
hara ini dengan mengerahkan pasukan pengamanan. Akhirnya melalui kesepakatan
para wali yang populer disebut Wali Songo, Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman
mati dengan Syarif Hidayatullah / Sunan Gunungjati sebagai eksekutornya.
Setelah
peristiwa itu, Syarif Hidayatullah dan wali lainnya bermaksud untuk menghabisi
dan menumpas semua pengikut Syekh Siti Jenar. Tetapi, Raden Walangsungsang
kemudian meredakan emosi mereka. Melalui kewibawaannya, Raden Walangsungsang
memutuskan untuk membebaskan para pembesar Kesultanan Cirebon untuk memilih
aliran kepercayaan sesuai dengan keyakinannya (di Cirebon pengikut Syekh Siti
Jenar dan pengikut Mazhab Syafi’i sama banyak). Berkat Raden Walangsungsang
pula, jenazah Syekh Siti Jenar yang dimakamkan di Kemlaten kemudian
dipindahkan ke makam keluarga keraton di Gunung Sembung. Hal ini dilakukan
untuk mencegah pemujaan yang berlebihan dari pengikut Syekh Siti Jenar terhadap
makam guru besarnya itu.
Bukti
lain dari hubungan yang akrab antara Kesultanan Banten dengan para wali yang
tergabung dengan Wali Songo adalah peran Sunan Kalijaga yang juga dikenal
dengan sebutan Sunan Panggung. Sunan ini menyebarkan agama Islam dengan melalui
pendekatan kesenian. Untuk wilayah Cirebon, Sunan Kalijaga memperkenalkan
bentuk kesenian yang disebut Tari Topeng. Tarian ini mempertontonkan dua
karakter dari penarinya. Pada bagian awal tarian, karakter lemah lembut
yang ditunjukkan oleh gerakan penari tanpa topeng secara perlahan. Tetapi pada
saat sang penari wanita mengenakan topeng di wajahnya, gerakan tarinya berubah
seketika menjadi gerakan yang menghentak, mengekspresikan bentuk karakter yang
diwakili oleh topeng.
Tujuan
Cirebon yang menginginkan menjadi Kesultanan yang merdeka kemudian meningkat
lagi dengan keinginan untuk mendominasi wilayah barat Jawa, sedangkan secara
geografis wilayah Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Pajajaran
(sebagai kerajaan yang menguasai seluruh wilayah barat Jawa), maka untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari
sikapnya “pembangkangan” ini, Kesultanan Cirebon mengadakan kerjasama dengan
kerajaan Demak. Pasukan Angkatan Laut Demak yang terkenal kuat disiagakan di
Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan dari Kerajaan Pajajaran.
Pajajaran
rupanya telah habis kesabarannya dengan “ulah” dari Kesultanan Cirebon ini, tak
lama serangan dari Pajajaran itu menjadi kenyataan. Tumenggung Jagabaya
(Panglima perang Pajajaran) beserta 60 anggota pasukannya dikirimkan dari
Pakuan ke Cirebon. Karena pihak Pajajaran tidak mengetahui kehadiran pasukan
Demak telah berada di sana, Tumenggung Jagabaya beserta pasukan kecilnya tidak
berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar.
Akhirnya Jagabaya menyerah dan masuk Islam.
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Prabu Surawisesa. Pasukan besar untuk membalas
kekalahan segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman
pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi
keraton) Ki Purwa Galih yang merupakan semacam penasehat dari Prabu
Surawisesa, sehingga pertempuran yang lebih
besar saat itu dapat terhindarkan.
Perang
antara Cirebon - Pajajaran berlangsung sekitar 5 tahun lamanya (1526 – 1531).
Pasukan Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Cirebon hanya mampu menjamah
wilayah timur Citarum (kekuasaan Pajajaran), sedangkan untuk masuk masuk lebih
ke barat selalu gagal karena dihadang oleh pasukan dari Pajajaran. Walaupun
hanya menguasai bagian timur saja, tetapi Cirebon merasa kedudukannya telah
mapan.
Perlu
dicatat, perang antara Cirebon dan Pajajaran bukan merupakan perang antar
agama, tetapi lebih berkaitan dengan perebutan wilayah kekuasaan. Pajajaran
(penerus Kerajaan Sunda) sebagai kerajaan Hindu sejak zaman kekuasaan Prabu
Anggalarang, tidak pernah mempermasalahkan urusan perbedaan agama di
wilayahnya, bahkan banyak kebijakan-kebijakan dari raja Sunda / Pajajaran yang
melancarkan penyebaran agama selain Hindu di wilayahnya.
Peperangan
pertama terjadi pada tahun 1526 ketika armada Demak dibantu Cirebon menyerang
pelabuhan Banten milik Pajajaran. Armada yang berkekuatan 1.452 orang tersebut
dipimpin oleh Fadillah Khan dibantu oleh Pangeran Cerbon, Dipati Keling, dan
Dipati Cangkuang.
Tahun
1528, Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Jayaningrat mengirimkan surat
peringatan kepada Kesultanan Cirebon. Isi surat tersebut adalah agar Cirebon
memberikan upeti kepada kerajaan atasan Galuh (Pajajaran). Galuh yang merupakan
kerajaan setia terhadap kerajaan Pajajaran akhirnya menyerang Cirebon setelah
Syarif Hidayatullah tidak mau mengabulkan permohonan tersebut. Pasukan Cirebon
yang dipimpin oleh Adipati Kuningan Suranggajaya tidak dapat menghadang pasukan
besar dari Galuh pada pertempuran yang terjadi di Palimanan. Tetapi 700 pasukan
Demak kemudian didatangkan untuk membantu dan dipimpin oleh Fatahillah. Pasukan
Fatahillah bergabung dengan pasukan Cirebon yang dipimpin langsung oleh
Pangeran Walangsungsang. Akhirnya karena strategi yang jitu dari Raden Walangsungsang,
akhirnya Kerajaan Galuh dapat dilumpuhkan. Mulai saat itu Kerajaan Galuh jatuh
ke tangan Kesultanan Cirebon. Raja Galuh (Prabu Jayaningrat) kemudian
menghimpun kekuatan di Kerajaan Talaga untuk bersiap-siap menghadapi Cirebon.
Serangan
Kesultanan Cirebon terhadap Kerajaan Talaga menjadi kenyataan. Prabu
Jayaningrat (raja Galuh), bersama pembesar Talaga lainnya tidak mampu
menghadapi serangan pasukan Cirebon. Akhirnya di tahun 1528, Kerajaan Talaga
menjadi bawahan Kesultanan Cirebon.
Pada
tahun 1529, Raden Walangsungsang wafat dalam usia 106 tahun. Kepergian tokoh
sepuh dan kharismatik ini sangat membuat seluruh rakyat Cirebon larut dalam
kesedihan. Sehingga pada tahun itu, Kesultanan Cirebon tidak dulu mengeluarkan
kebijakan-kebijakan penting, untuk menghormati wafatnya tokoh pendiri
Kesultanan Cirebon ini. Tokoh ini kemudian dimakamkan di Bukit Sembung di Dukuh
Pasambangan (sekarang menjadi bagian kompleks makam Syarif Hidayatullah).
Pada
tahun 1530, Kerajaan Geger Hanjuang berhasil “direbut” oleh Kesultanan Cirebon.
Tercaploknya wilayah ini tidak melalui peperangan, akan tetapi melalui
pernikahan. Pangeran Santri (keturunan kerabat Keraton Cirebon) menikah Ratu
Satyasih / Pucuk Umum Sumedang (penguasa Geger Hanjuang). Setelah peristiwa
ini, nama Geger Hanjuang berubah menjadi Sumedanglarang, yang merupakan wilayah
bawahan Kesultanan Cirebon.
Tahun
1531 tercapai perdamaian antara Prabu Surawisesa dan Sunan Jati. Kedua pihak
mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing.
Dari pihak Cirebon, yang ikut menandatangani naskah perjanjian terebut antara
lain Pangeran Pasarean (putera mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin
(Bupati Banten).
Sunan
Jati bukan saja mengembangkan Keraton Pakungwati, tetapi juga
merencanakan pengembangan wilayah. Namun, tantangan untuk rencana ini dari
Pajajaran masih juga cukup besar.
Sunan
Jati memiliki strategi politik yang cukup cerdik, yang dia lakukan terlebih
dahulu adalah menyerang Banten, wilayah Pajajaran paling barat. Ketika Banten
dikuasai, Sunan Jati mengangkat putranya, Hasanuddin (anak dari pernikahannya
dengan Nyai Kawungaten), menjadi adipati pertama di Banten. Adipati ini pula
yang kemudian menjadikan Banten sebagai kesultanan.
Pada
saat itu, Kesultanan Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat
dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Namun pada tahun 1546, setelah
kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan
(bahkan Sultan Trengganu tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta,
maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula.
Syarif
Hidayatullah turun tahta karena wafat dalam usia 119 tahun, pada tanggal 19
September 1568, setelah wafat beliau beliau dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati karena letak makamnya di daerah Gunung Jati, Cirebon.
b.
Fatahillah
/ Fadillah Khan (1568 – 1570)
Pada
saat Sunan Jati turun tahta, Kesultanan Cirebon diserahkan sementara pada
menantunya yang bernama Fatahillah. Hal ini dikarenakan ketiga putra laki-laki
dari Syarif Hidayatullah meninggal lebih dahulu. Sedangkan putra yang masih
hidup, yaitu Sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), telah terlebih dahulu
memerintah di Banten. Selain itu, Pangeran Swarga (putra dari
Pangeran Pasarean) yang merupakan calon kuat pengganti Sunan Jati juga telah
wafat pada tahun 1565.
Dari
segi kekerabatan, Fatahillah / Fadillah Khan adalah keponakan Syarif
Hidayatullah karena buyutnya (Barkat Zainal Abidin) adalah adik
dari Nurul Amin (kakek Syarif Hidayatullah dari pihak ayah).
Fatahillah juga masih terhitung juga sebagai cucu dari Sunan Ampel (Ali
Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak dari Ibrahim Zainal
Akbar (ayah Sunan Ampel).
Fatahillah
yang lahir pada tahun 1490 di Pasai, pernah tercatat sebagai mantan Senopati
Demak yang berhasil merebut Pelabuhan Kalapa (pelabuhan laut Pajajaran).
Akibat keberhasilannya itu, beliau diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati
Kalapa untuk mengatur urusan Pelabuhan Kalapa.
Beliau
memperistri Nyi Ratu Pembaya (Puteri Raden Patah yang telah janda karena
Pangeran Jayakelana / putra Syarif Hidayatullah wafat). Kemudian Fadillah Khan menikah
lagi pada tahun 1527 dengan Nyi Mas Ratu Ayu (puteri bungsu Syarif Hidayatullah
yang berstatus janda dari Sabrang Lor / Sultan Demak II). Dengan demikian, Fatahillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus
menantu Syarif Hidayatullah.
Dari
pernikahannya dengan Ratu Ayu, beliau memiliki 2 orang anak yaitu Nyi
Mas Wanawati Raras (puteri ini kemudian menikah dengan Pangeran
Swarga / putera dari Pangeran Pasarean), danPangeran Sedang Garuda.
Fadillah
Khan / Fatahillah yang sehari-harinya dijuluki sebagai Ki
Fadil memiliki beberapa sebutan. Joao de Barros menyebut Fadillah
dengan Faletehan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril. Dalam Carita
Parahiyangan disebut dengan Arya Burah. Sedangkan
menurut Pustaka NagaraKretabhumi I / 2 disebut sebagai Wong
Agung Pase.
Fatahillah
hanya menduduki tahta Kesultanan Cirebon selama 2 tahun karena ia meninggal
dunia pada tahun 1570 dalam usia 80 tahun, dan dimakamkan berdampingan (di
sebelah timurnya) dengan Sunan Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
c.
Pangeran Emas
/ Panembahan Ratu I (1570 – 1649)
Sepeninggal
Fatahillah, tahta sultan Cirebon jatuh pada Pangeran Emas yang lahir pada tahun
1547, Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I di saat usianya baru
mencapai 23 tahun. Beliau merupakan cicit dari Syarif Hidayatullah dan
cucu dari Fadillah Khan. Ayahnya bernama Pangeran Swarga (putra Pangeran
Pasarean) sedangkan ibunya bernama Nyi Mas Ratu Wanawati Raras (putri Fadillah
Khan).
Beberapa
saat setelah pelantikan, beliau menikah dengan Nyi Mas Ratu Glampok Angroros /
Ratu Mas Pajang (putri dari Jaka Tingkir / Prabu Adiwijaya, Sultan Pajang).
Di saat
Panembahan Ratu I berkuasa, Keraton Pakungwati (yang selama ini menjadi
pusat kekuasaan), ditinggalkan dan pusat pemerintahan dipindahkan ke keraton
baru yang bernama Kanoman.
Panembahan
Ratu I memilih pindah dari Pakungwati (belakangan disebut Keraton Kasepuhan) ke
Kanoman dikarenakan bahwa arsitektur Keraton Pakungwati tidak seutuhnya
melambangkan ke-Islaman, sebab masih ada arsitektur berbau pra-Islam. Hal ini
jelas bertentangan dengan tradisi Keraton Cirebon yang sangat Islami.
Pada
tahun 1596, orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa
Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang
sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Pada
masa Panembahan Ratu I, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan
keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan
Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah
Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten
dan Kotamadya Cirebon (sekarang).
Pada
waktu yang bersamaan dengan masa kekuasannya, di Kerajaan
Pajang (penerus Demak) sedang terjadi perebutan kekuasaan
antara Panembahan Senapati dengan Arya Pangiri. Saat peristiwa
itu, Panembahan Ratu I memihak pada Arya Pangiri. Atas keberpihakannya itu,
maka Panembahan Ratu I diberikan “hadiah” seorang puteri yang bernama Puteri
Harisbaya yang kemudian dinikahinya. (Cerita mengenai Panembahan Ratu
I & Puteri Harisbaya yang lain, lihat Kerajaan Sumedanglarang, sub- Prabu
Geusan Ulun).
Akibat
dari perebutan kekuasaan di Pajang, akhirnya pada tahun 1601, kerajaan Pajang
terbagi dua yaitu Kerajaan Pajang dipimpin oleh Arya Pangiri dan Kerajaan
Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati.
Walaupun
Panembahan Ratu I sempat memihak pada Arya Pangiri, namun hubungannya dengan
Mataram tetap berjalan baik. Hal itu terjadi karena, Panembahan Ratu I menikah
dengan putri (namanya tidak diketahui) dari Panembahan Senapati.
Mulai
sekitar 1630-an, saat itu Kerajaan Mataram telah dipimpin oleh Sultan Agung.
Mataram mulai melakukan ekspansi ke barat Jawa. Tujuan ekspansi adalah untuk
menunjukan bahwa Mataram adalah kerajaan besar yang diperhitungkan di
Nusantara, selain itu ekspansi ke barat Jawa adalah untuk mengusir VOC yang
mulai merajalela.
Setelah
masa kejayaan Pajajaran habis, maka wilayah barat Jawa semula dikuasai oleh
Cirebon dan Banten. Namun dengan masuknya Mataram, maka wilayah barat Jawa
terbagi oleh 3 kekuasaan besar.
Panembahan
Ratu I wafat pada tahun 1649 dalam usianya ke-102 tahun. Penerus Cirebon adalah
cucunya yang bernama Pangeran Rasmi. Penunjukan cucunya disebabkan putra
mahkota yang bernama Pangeran Seda ing Gayam Panembahan
Adiningkusumah telah wafat.
d.
Pangeran Rasmi /
Pangeran Karim / Panembahan Ratu Ii / Panembahan Girilaya (1649 - 1667)
Setelah
Panembahan Ratu I meninggal, Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang
bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim (lahir tahun 1601, anak dari
Pangeran Seda ing Gayam, yang telah meninggal lebih dahulu). Pangeran Rasmi
kemudian menggunakan nama gelar ayahnya yaitu Panembahan Ratu II.
Pada
tahun 1645 , beliau menikah dengan putri (tidak diketahui namanya)
dari Sunan Amangkurat I (Raja Mataram pengganti Sultan Agung). Dari
perkawinannya tersebut, Panembahan Ratu II memiliki 3 orang anak,
yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran
Wangsakerta.
Selain
menikah dengan putri Sunan Amangkurat I, beliau juga menikah lagi dengan putri
dari Mataram (juga tidak diketahui namanya maupun silsilahnya). Dari
pernikahannya kali ini, beliau dikaruniai 2 orang anak yaitu Panembahan
Katimang dan Pangeran Gianti. Diperkirakan, dibalik 2 pernikahannya itu dengan
wanita asal Mataram terdapat muatan diplomatis. Karena pada saat itu, Cirebon
pamornya mulai surut, sedangkan Mataram sedang dalam masa kejayaan.
Sunan
Amangkurat I yang memiliki perangai keras, akhirnya menodai persahabatan yang
terjalin selama ini. Dia menganggap Cirebon yang dipimpin oleh menantunya sudah
bukan lagi kerajaan yang berdiri sejajar. Maka, Sunan Amangkurat I mengingkari
kesepakatan tak tertulis, yang menyebutkan bahwa Mataram tidak akan sekali-kali
menguasai Kesultanan Banten dan Keraton Cirebon, sebagai wujud penghormatan
terhadap kerukunan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten yang pernah terjadi
dahulu kala.
Kegagalan Panembahan
Ratu II beserta Mataram untuk penyerangan VOC ke Banten pada tahun 1650 membuat
Sultan Mataram merasa kesal, dan akhirnya Panembahan Ratu II dijadikan “tahanan
politik” di Mataram. Dari kejadian itu, maka tahun 1650 Kesultanan Cirebon
telah resmi menjadi kekuasaan Mataram.
Panembahan
Ratu II akhirnya wafat di Mataram pada tahun 1667 dan dimakamkan di
bukit Girilaya, sehingga beliau kemudian dikenal juga dengan
sebutan Panembahan Girilaya.
PEMBAGIAN KEKUASAAN
Sunan
Amangkurat I terusik hatinya untuk menguasai barat Jawa. Sunan Amangkurat I
memiliki pemikiran bahwa hanya dengan menguasai barat Jawa, VOC bisa
terkalahkan. Dari pandangan itulah Mataram akhirnya menguasai semua kabupaten
di barat Jawa termasuk Cirebon.
Karena
perlakukan Raja Mataram itu, Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten
saat itu) tidak tinggal diam. Atas
bantuan Trunojoyo dari Madura, Banten menyerang Cirebon, tahun
1667. Akhirnya Mataram menyerah dan pergi meninggalkan Cirebon, bahkan
Trunojoyo menyerang ke Mataram langsung yang membuat Mataram kalang
kabut.
Putra
bungsu Panembahan Ratu II yaitu Pangeran Wangsakerta, yang sedianya akan
menyusul ayahnya menjadi tahanan politik di Kerajaan Mataram, digagalkan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa. Wangsakerta dibawa ke Banten dan dilantik menjadi
sultan.
Putra
kedua Panembahan Ratu II yaitu Pangeran Kartawijaya, yang turut mendampingi
ayahnya saat meninggal di Mataram, cepat-cepat dipulangkan ke Cirebon. Oleh
Sultan Banten, Kartawijaya dilantik menjadi Sultan Cirebon menggantikan adiknya
Wangsakerta yang sebelumnya dilantik sebagai pejabat sementara.
Namun,
beberapa saat setelah Kartawijaya dilantik, pasukan Trunojoyo yang pulang dari
Mataram pada tahun 1678, mengantarkan putra sulung Panembahan Ratu II yaitu
Pangeran Martawijaya. Sesuai tradisi kerajaan yang berlangsung turun temurun,
menyebutkan bahwa yang paling berhak menduduki Keraton adalah putra sulung.
Dengan demikian Martawijaya pun dilantik menjadi sultan juga.
Karena
ketiganya sudah dilantik menjadi Sultan Cirebon, maka Sultan Banten, Ageng
Tirtayasa menetapkan ketiganya sebagai raja. Sebagai anak sulung, Pangeran
Martawijaya menjadiSultan Sepuh I yang berkuasa di Keraton Kasepuhan.
Adiknya, Pangeran Kartawijaya diberi gelarSultan Anom I dan berganti nama
menjadi Pangeran Mohammad Badrudin yang berkuasa di Keraton Kanoman
dan Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan
Tohpati tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Pangeran Wangsakerta juga dikenal sebagai pustakawan, beliau dan kawan-kawannya
telah berhasil menyusun dan menulis beberapa naskah mengenai sejarah
Nusantara.
Dari
kasus pembagian kekuasaan itu, akhirnya terhitung sejak pertengahan abad XVII
di Cirebon ada tiga kesultananan yang menempati keraton yang berbeda, yaitu
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Lambat
laun, Kerajaan Cirebon mulai pudar walaupun tak sampai tenggelam. Kharisma
Kesultanan Cirebon tidak lagi secemerlang manakala Cirebon dipimpin oleh Syarif
Hidayatullah. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan
bahkan terlampaui oleh Kesultanan Banten di kemudian hari.
Tahun
1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada VOC maka otomatis daerah-daerah lain
yang tadinya merupakan wilayah bawahan Cirebon masuk menjadi daerah kekuasaan
VOC.
Setelah
dibagi menjadi 3 kekuasaan, para Sultan yang berkuasa di Cirebon hingga saat
ini masih eksis.
2.
Kerajaan Demak
Demak adalah kesultanan atau kerajaan
islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah
(1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit
yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini
didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar,
pendakwah islam paling awal di pulau jawa.
a. Awal Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang
pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada tahun 1478 M. Hal ini didasarkan
atas jatuhnya kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna
hilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M.
Kerajaan Demak itu
didirikan oleh Raden Fatah. Beliau selalu memajukan agama islam di bantu oleh
para wali dan saudagar Islam.
Raden Fatah nama
kecilnya adalah Pangeran Jimbun. Menurut sejarah, dia adalah putera raja
Majapahit yang terakhir dari garwa Ampean, dan Raden Fatah dilahirkan di
Palembang. Karena Arya Damar sudah masuk Islam maka Raden Fatah dididik secara
Islam, sehingga jadi pemuda yang taat beragama Islam.
Setelah usia 20 tahun
Raden Fatah dikirim ke Jawa untuk memperdalam ilmu agama di bawa asuhan Raden
Rahmat dan akhirnya kawin dengan cucu beliau. Dan akhirnya Raden Fatah menetap
di Demak (Bintoro).
Pada kira-kira
tahun 1475 M, Raden Fatah mulai melaksanakan perintah gurunya dengan jalan
membuka madrasah atau pondok pesantren di daerah tersebut. Rupanya tugas yang
diberikan kepada Raden Fatah dijalankan dengan sebaik-baiknya. Lama kelamaan
Desa Glagahwangi ramai dikunjungi orang-orang. Tidak hanya menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan agama, tetapi kemudian menjadi pusat peradagangan bahkan
akhirnya menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa.
Desa Glagahwangi,
dalam perkemabangannya kemudian karena ramainya akhirnya menjadi ibukota negara
dengan nama Bintoro Demak.
b.
Letak Kerajaan Demak
Secara geografis
Kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah, tetapi pada awal kemunculannya
kerajaan Demak mendapat bantuan dari para Bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan
Jawa Timur yang telah menganut agama Islam.
Pada sebelumnya,
daerah Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan Kerajaan
Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan kepada Raden Fatah (dari
kerajaan Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam dan berasal dari Jeumpa
(Daerah Pasai).
Letak Demak sangat
menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu
wilayah Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa.
Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga
kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuyk berlayar ke
Rembang. Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari
setiap saat.
Pada abad XVI agaknya
Deamak telah menjadi gudang padi dari daerah pertanian di tepian selat
tersebut. Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut
pada sekitar 1500. Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan dan dikosongkan
oleh Gusti Patih, panglima besar kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini
kiranya merupakan peralawanan terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah
jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa tunggal di sebelah selatan Pegunungan
Muria.
Yang menjadi
penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang
(dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa
antara Demak dan Jepara.
Hasil panen sawah di
daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun sudah baik. Kesempatan untuk
menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula, persediaan padi untuk kebutuhan
sendiri dan untuk pergadangan masih dapat ditambah oleh para penguasa di Demak tanpa
banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di pedalaman Pegging
dan Pajang.
c.
Kehidupan Politik
Ketika kerajaan
Majapahit mulai mundur, banyak bupati yang ada di daerah pantai utara Pulau
Jawa melepaskan diri. Bupati-bupati itu membentuk suatu persekutuan di
bawah pimpinan Demak. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan
Demak sebagai kerajaan Islam pertama dipulau Jawa. Raja-raja yang pernah
memerintah Kerajaan Demak adalah sebagai berikut :
1.) Raden Fatah
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan
Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V
di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita
dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya
sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak
pertentangan dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah
tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa
(sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Sang permaisuri memiliki ketidak
cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya dengan berat hati raja
menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung, sang
putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden
Patah dilahirkan dari rahim sang putri cina.
Nama kecil raden patah adalah
pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh pendidikan yang
berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di istana
Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.
Raden Patah memiliki adik
laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah
bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat
di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.
Patah sempat tinggal beberapa
lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu. Di sana pula ia
mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang juga
dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.
Raden patah mendalami agama islam
bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum ibrahim
(Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus, raden
patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia
diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah
memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh
Walisanga sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa.
Menurut cerita rakyat Jawa Timur,
Raden Fatah termasuk keturunan raja terakhir dari kerajaan Majapahit, yaitu
Raja Brawijaya V. Setelah dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi bupati di
Bintaro (Demak) dengan Gelas Sultan Alam Akbar al-Fatah.
Raden Fatah memerintah Demak dari
tahun 1500-1518 M. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak berkembang dengan
pesat, karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan
makanan, terutama beras. Oleh karena itu, kerajaan Demak menjadi kerajaan
agraris-maritim. Barang dagangan yang diekspor kerajaan Demak antara lain
beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan
Samudera Pasai.
Pada masa pemerintahan Raden
Fatah, wilayah kekuasaan kerajaan Demak meliputi daerah Jepara,Tuban, Sedayu,
Palembang, Jambi dan beberapa daerah di kalimantan. Disampin itu, kerajaan
Demak juga memiliki pelabuhan –pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu,
Jaratan, dan Gresik yang berkemabng menjadi pelabuhan transito (penghubung).
Kerajaan Demak berkembang sebagai
pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama islam. Jasa para Wali dalam
penyebaran agama islam sangatlah besar, baik di pulau Jawa maupun di
daerah-daerah di luar pulau Jawa, seperti di daerah Maluku yang dilakukan oleh
Sunan Giri, di daerah Kalimantan Timur yang dilakukan oleh seorang penghulu
dari Demak yang bernama Tunggang Parangan.
Pada masa pemerintahan Raden
Fatah, dibangun masjid Demak yang proses pembangunan masjid itu di bantu oleh
para wali atau sunan.
Raden Fatah tampil sebagai raja
pertama Kerajaan Demak. Ia menaklukan kerajaan Majapahit dan memindahkan
seluruh benda upacara dan pusaka kerajaan Majapahit ke Demak. Tujuannya, agara
lambang kerajaan Majapahit tercermin dalam kerajaan Demak.
Ketika kerajaan Malaka jatuh
ketangan Portugis tahun 1511 M, hubungan Demak dan Malaka terputus. Kerajaan
Demak merasa dirugikan oleh Portugis dalam aktivitas perdagangan. Oleh karena
itu, tahun 1513 M Raden Fatah memerintahkan Adipati Unu memimpin pasukan Demak
untuk menyerang Portugis di Malaka. Serangan itu belum berhasil, karena pasukan
Portugis jauh lebih kuat dan persenjataannya lengkap. Atas usahnya itu Adipati
Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.
2.) Adipati Unus
Setelah Raden Fatah wafat, tahta
kerajaan Demak dipegang oleh Adipati Unus. Ia memerintah Demak dari tahun
1518-1521 M. Masa pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia
meninggal dalam usia yang masih muda dan tidak meninggalkan seorang putera
mahkota. Walaupun usia pemerintahannya tidak begitu pasukan Demak
menyerang Portugis di Malaka. Setelah Adipati Unus meninggal, tahta kerajaan
Demak dipegang oleh saudaranya yang bergelar Sultan Trenggana.
Sejak tahun 1509 Adipati Unus
anak dari Raden Patah, telah bersiap untuk menyerang Malaka. Namun pada tahun
1511 telah didahului Portugis. Tapi adipati unus tidak mengurungkan niatnya,
pada tahun 1512 Demak mengirimkan armada perangnya menuju Malaka. Namun setalah
armada sampai dipantai Malaka, armada pangeran sabrang lor dihujani meriam oleh
pasukan portugis yang dibantu oleh menantu sultan Mahmud, yaitu sultan Abdullah
raja dari Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran
sabrang lor atau Adipati Unus. Tetapi kembali gagal, padahal kapal telah
direnofasi dan menyesuaikan medan.
Selain itu, dia berhasil
mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia menghilangkan kerajaan Majapahit
yang beragama Hindu, yang pada saat itu sebagian wilayahnya menjalin kerja sama
dengan orang-orang Portugis. Adipati Unus (Patih Yunus) wafat pada tahun 938
H/1521 M.
3.) Sultan Trenggana
Sulltan Trenggana memerintah
Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai
masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga
ke daerah Jawa Barat. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke
Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil di
kuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan terhadap
daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis dan kerajaan
Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada Demak pimpinan
Fatahillah. Dengan kemenangan itu, fathillah mengganti nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang terjadi pada
tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai hari jadi kota Jakarta.
Dalam usaha memperluas
kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu
persatu daerah Jawa Timur berhasil di kuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan
Malang. Akan tetapi ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana
gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya
dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana
berkuasa selama 42 tahun.
Di masa jayanya, Sultan Trenggana
berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana
memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya
telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan
Majapahit.
3. Kesultan Banten
Disarikan dari Buku “Catatan Masa Lalu
Banten”, Drs Halwani Michrob, MSc, Drs A. Mudjahid Chudori, Penerbit Saudara,
Serang 1993
130 M Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri
Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di pesisir barat Pandeglang.
Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
a.
Kerajaan
Agrabinta di Pulau Panaitan
b.
Kerajaan
Agnynusa di Pulau Krakatau
c.
Dan
daerah ujung selatan Sumatera
165 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam
peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran
dari Eropa menuju Cina dengan melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir
barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan
sampai ke Daratan Cina.
Abad 5 M Prasasti Munjul yang diperkirakan
berasal dari abad ke V masehi ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul –
Pandeglang. Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan
bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari
Kerajaan Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara
pada saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari
Kerajaan Pajajaran.
Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah
pemerintahan Prabu Pucuk Umun (Dalam Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu
Ajar Domas). Pusat pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang dihubungkan
dengan pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui Klapadua sebagai
jalur darat.
1513 M Tome Pires, pelaut Portugis,
memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan pelabuhan kedua terbesar setelah
Kalapa. Telah terjadi hubungan perniagaan dengan Sumatera dan Maladewa, dan
pelabuhan Banten merupakan pengekspor beras, bahan makanan dan lada. Pada masa
ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah Cimanuk, dan
kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
1511-21 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa
Portugis menguasai Malaka dan disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada
tahun 1521 M. Selain untuk kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga
dibebani misi untuk menghancurkan agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa
Portugis memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan
memberlakukan peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama
yang beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi,
Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya ke
Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Keadaan ini sangat menguntungkan bagi
Pelabuhan Banten yang berkembang semakin pesat dan lama kelamaan menjadi pusat
penyebaran agama Islam di bagian barat pulau Jawa.
1521 M Dengan semakin berkembang pesatnya
kekuatan Islam di barat dan timur, timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan
semakin terdesaknya agama Hindu selaku agama resmi kerajaan dan juga lunturnya
kekuasaan di di daerah pantai.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Prabu
Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata) melakukan :
a.
Pembatasan
pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang
berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
b.
Menjalin
hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka, agar
dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus putera
mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.
1522 M 21 Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
1522 M 21 Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
c.
Portugis
dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
d.
Raja
Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai
penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
e.
Portugis
bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.
f.
Sebagai
tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap
tahunnya kepada Portugis.
1525 M Pasukan gabungan
Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati Cangkuang,
dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di bawah pimpinan Hassanudin dapat
menguasai Banten. Untuk menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin
kemudian diangkat menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten
Girang.
1526 M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati,
ibukota Banten dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten, yang kemudian disebut
dengan Surosowan. Berdasarkan beberapa data, pemindahan ibukota ini dilakukan
pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527 M Terdengar kabar, Portugis dengan
armada dan persenjataan lengkap telah meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa.
Mendengar berita ini, Demak, Banten, dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda
Kelapa. Sunda Kelapa dapat dikuasai pada tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat
untuk menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa
diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota Kemenangan.
Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk
melaksanakan perjanjian tahun 1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah
Sunda Kelapa dikuasai pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de
Sa melakukan perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat
perlawanan hebat dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda
Kelapa.
Setelah
Jayakarta berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan Fatahillah
bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hassanudin bertanggung
jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan kemasyarakatan,
sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani keamanan dan pertahanan
wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar dengan pesat dan keamanan negara
terjamin. Kedua penguasa di Jawa Barat memerintah atas nama Sultan Demak.
1552
M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten
ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja
pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung
Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan
mangkatnya raja Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun
tersebut. Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran
Bagus Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570
M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M. Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M. Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota
Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan bangunan
pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah
kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan, kesenian
rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di sisi
selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan
diatapi yang disebut srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan
rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan
Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih menitik
beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping memperluas lahan
pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya, Banten telah menjadi
pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama dan penghubung
pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan kerajaan di
Nusantara.
Cara
jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah mulai
digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan adalah Real
Banten dan cash cina (caxa).
Terjadinya
krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M, mendorong
Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak dan menjadikan
Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah Kesultanan Banten telah
meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, Inderapura, sampai Solebar.
Sultan
Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung. Setelah
wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking. Sebagai
penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten ke 2.
1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf
Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana
Yusuf, strategi pembangunan dititik beratkan pada pengembangan kota, keamanan
wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat
maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh
dunia yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara.
Dengan majunya perdagangan maritim di Banten,
maka kota Surosowan dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa.
Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi maupun pendatang membuat
diberlakukannya aturan penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian
dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan
di luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi pedagang muslim
dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu, Pecinan yang
diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di sebelah barat Masjid
Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan pemukiman ini selain
bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk kepentingan keamananan,
dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan kota.
Selain penataan pemukiman, juga dilakukan
perkuatan dan penebalan tembok keliling kota dan tembok benteng sekeliling
istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan
batu karang dengan parit parit disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga
dilakukan dan penambahan bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek
muslim asal Mongolia.
Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan
yang berada di sekitar kota dan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota
Surosowan, di buatlah danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai
Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian
disalurkan ke daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa pipa terakota, setelah
diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah jernih
dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau
buatan ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi
keluarga keraton.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M
dan dimakamkan di Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan
karenanya beroleh gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran
Pasarean. Sebagai pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada
waktu itu baru berusia 9 tahun.
1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan
Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan
menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan Pajajaran.
Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Pajajaran
adalah Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun
atau Panembahan Pulosari, karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan
di gunung Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan
Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H.
Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa
kerajaan Pajajaran diislamkan dan dibiarkan kembali memangku jabatannya
sehingga dapat menjamin stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.
1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng
Ratu Banten Surosowan
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai.
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai.
Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di
Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang
saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab
agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi
khatib dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa kepemimpinannya,
Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan keramik dan kolomnya
dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan disediakan tempat khusus
yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596
pada saat penyerangan ke Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran
Mas, keturunan dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan
tertembak ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul
Kadir
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan.
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan.
Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di
tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai
Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk
sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak
menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan
keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri semakin
membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk mengurus
keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang Inggris,
Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya
Mangkubumi, yang memicu terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama
Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan
tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat
dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian
antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala sebagai
Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten menjadi aman kembali.
Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana
Yusuf, saudara beda ibu dengan Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai
Mangkubumi, tindakan utama yang diambil adalah mengembalikan stabilitas
keamanan Banten dan menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang
bahkan Sultan sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara
demikian, Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari
dalam amupun luar negeri.
Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing
tidak berat sebelah atau memihak pihak manapun. Beberapa kebijakan penting yang
diambil :
a.
Penghapusan
keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
b.
Penetapan
pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak
terkena pajak
c.
Pemberlakuan
pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar
pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang Belanda
yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri Banten.
Disarikan dari Buku BANTEN DALAM PERGUMULAN
SEJARAH: sultan, ulama, jawara. karangan Nina H Lubis, penerbit LP3ES.
Melihat namanya ia rupanya seorang bangsawan,
tetapi biarlah kebangsawanan ini sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang
penting ialah Jonkheer Jan de Rovere van Breugel adalah seorang pejabat VOC di
Banten. Pada tahun 1788, ia terpaksa meninggalkan jabatannya pada maskapai
dagang Belanda yang semakin lama semakin berfungsi sebagai sebuah “negara” itu.
Peristiwa ini pun tak pula penting. Pulang kampung dan meletakkan jabatan
bukanlah pula hal yang harus dibesar-besarkan. Akan tetapi, yang menarik ialah
ternyata setahun sebelum ia “pulang negeri”, raden mas Belanda ini sempat
menyelesaikan dua memorandum panjang, yang masing-masing berjudul Berschijving
van Banten en de Lampong (Uraian tentang Banten dan Lampung) dan Bedenkingen
van den staat van Bantam (Pemikiran tentang Banten). Namun, barulah pada tahun
1857 – hampir enam dasawarsa kemudian – ringkasan dari kedua memorandum panjang
ini diterbitkan dalam majalah Bijdragen tot Taal-,land-,en volkenkunde (biasa
dipendekkan dengan BKI saja, terbitan KITLV), sebuah majalah yang sampai
sekarang masih terbit bahkan telah semakin bersifat internasional.
Pada pengantar dari memorandum yang telah
diperpendek itu, redaksi majalah mengatakan bahwa sebenarnya naskah lengkap
dari sang bangsawan lokal ini akan diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschaap-
sebuah organisasi keilmuan yang tertua di negeri yang kemudian bernama Hindia
Belanda ini. Akan tetapi, rencana penerbitan ini dibatalkan karena Gubernur
Jenderal Alting menasehati sang pengarang agar mau mengurungkan niatnya.
Soalnya kedua naskah memorandum itu-entah sengaja, entah tidak, tetapi lebih mungkin
karena keasyikan berkisah saja-ternyata banyak juga membicarakan hal-hal yang
mestinya tidak boleh diketahui umum. Jadi rahasia dari masa-masa akhir hidup
VOC termuat juga dalam naskah ini. Coba saja pikir pejabat yang bergelar
Jonkheer ini antara lain mengusulkan agar VOC menurunkan tingkat administratif
Banten hingga dengan begini jumlah tentara yang diperlukan cukup 185 orang
saja, tidak lagi 372 orang. Soalnya Banten cukup dekat dari Batavia dan lagi –
dan ini rupanya penting juga – “kemiskinan sang raja telah meniadakan
kemungkinannya untuk melakukan apapun”. Maka dengan pengurangan biaya ini
kerugian finansial VOC bisa ditekan. Bukankah sudah umum juga diketahui bahwa
salah satu sebab utama VOC dilebur dan daerah-daerah di Kepulauan Indonesia yang
telah berada di bawah dominasi VOC dijadikan sebagai bagian dari sebuah negara
kolonial yang disebut Hindia Belanda ialah karena VOC telah mengalami
kebangkrutan?
Tentu sekarang kita bisa berkata bahwa kalau
dihitung-hitung umur VOC lebih panjang daripada Hindia Belanda. VOC sempat
hidup sampai dua abad kurang dua tahun (1602-1800), sedangkan umur Hindia
Belanda hanya 142 tahun saja. Kalaupun ingin berpikir secara legalistik yang
kaku paling-paling hanya bisa ditambah empat tahun tambah beberapa bulan – sejak
menyerahnya Jepang hingga “penyerahan kedaulatan”. Akan tetapi, yang akan mau
mengakui cara berpikir legalistik konyol ini, siapa lagi selain kaum
konservatif Belanda? Jadi, tak perlu heran kalau masyarakat awam masih menyebut
pemerintah kolonial Belanda “kompeni”, meskipun Hindia Belanda telah berkuasa.
Namun demikian, sudahlah, yang jelas kedua
naskah memorandum yang telah diperpendek itu diterbitkan ketika Pemerintah
Hindia Belanda telah asyik dengan politik “tanam paksa” atau cultuurstelsel di
Pulau Jawa. Politik ini bukan saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri
dan menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta merta
mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis. Kalau begini keadaannya nilai
aktualitas dari memorandum itu telah membuyar. Karena itulah barangkali
ikhtisar memorandum kurang begitu menarik perhatian.
Apalagi pada waktu diterbitkan, Banten telah
pula sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Policy apalagi yang akan
dijalankan berdasarkan memorandum itu? Bisalah pula dipahami bahwa barulah
ketika Ann Kumar, sejarawan Australia yang ahli Jawa, menulis tentang hubungan
Jawa dan Belanda (Java and Modern Europe, 1997) ia merasa perlu menjadikan
tulisan dari van Breugel ini sebagai bahan kajiannya. Ia pun “berbaik hati”
juga mengikhtisarkan lagi ikhtisar naskah sang Jonkheer, tetapi kali ini dalam
bahasa Inggris.
Dengan membaca “ikhtisar dari ikhtisar” ini
kita mengetahui juga dasar keinginan van Breugel untuk menerbitkan kedua
memorandumnya dan bisa pula memahami pertimbangan majalah BKI untuk menerbitkan
ikhtisarnya sekian puluh tahun kemudian. Tampak sekali bahwa sang pengarang
berharap agar memorandumnya ini bisa mempengaruhi kebijakan politik kolonial
yang dijalankan. Akan tetapi, sayang juga ketika akhirnya diterbitkan
tulisannya hanya bermanfaat sebagai salah satu sumber sejarah saja.
Soalnya ia sebenarnya melihat masa depan yang
cerah juga bagi Banten, jika saja usul-usulnya bisa dipertimbangkan untuk
dilaksanakan, tetapi sudahlah, yang jelas tulisan Jonkheer de Rovere van
Breugel boleh dikatakan bercorak ensiklopedis tentang Banten. Ia berbicara
tentang wilayah dan kota, pemerintahan (raja, bangsawan), penduduk dan adat,
hasil bumi dan perdagangan serta hal-hal lain lagi. Meskipun ia sangat menaruh
perhatian pada sumber-sumber ekonomis Banten dan Lampung, tetapi ternyata
hampir tidak ada aspek kehidupan dan dinamika ekonomi-politik yang tidak
dibicarakannya. Dalam tulisannya tampak pula bahwa ia adalah seorang pengamat
situasi sosial yang cukup jeli juga.
la mungkin tak bisa menerangkan mengapa “itu
harus begitu” dan “mengapa ini harus begini”, sebagaimana yang mungkin bisa
dilakukan oleh ahli anthropologi modern, tetapi ia dapat saja bercerita tentang
apa saja yang kebetulan dilihat dan diamatinya. Dalam memorandum ini, van
Breugel membayangkan juga suatu saat Banten akan bisa bangkit lagi jika saja
VOC menjalankan kebijakan yang baik. Hanya saja, tentu bisa juga dimaklumi
kalau dalam melihat dan mengamati masyarakat Banten ia tak bisa melepaskan
landasan penilaian yang bercorak Belanda.
Maka, janganlah kaget kalau ia mengatakan
bahwa menurut pengamatannya laki-laki Banten itu sesungguhnya pemalas. Mereka
membiarkan saja para isteri mereka bekerja mengurus rumah tangga. Mereka lebih
sibuk minum-minum – tentu saja bukan air – makan-makan sirih dan
menunggang-nunggang kuda. Bahkan, kalau saja pengamatannya tidak terlalu bias,
laki-laki Banten itu, katanya lagi, membiarkan saja perdagangan dikuasai para
pendatang yang disebut “Orang dagang” . Anak-anak umur delapan atau sepuluh
telah dipertunangkan, meskipun mereka masih tinggal di rumah orang tua.
Pertunangan ini bisa juga dibatalkan, tetapi akibatnya orangtua anak perempuan
akan kehilangan pembayaran yang telah mereka lakukan.
Pesta perkawinan diadakan di rumah penganten
perempuan, sedangkan tamu-tamu datang dengan membawa hadiah, biasanya
buah-buahan. Sang pejabat yang bangsawan ini rupanya pernah juga beberapa kali
menghadiri upacara pernikahan orang Banten, sebab ia bisa juga berbicara agak
panjang lebar tentang situasi dari upacara perkawinan itu, Tentang agama, ia
mengatakan bahwa orang Banten itu beragama Islam tetapi orang Lampung menganut
kepercayaan yang merupakan percampuran “ajaran Muhammad” dengan sistem
kepercayaan yang masih kafir, dan digabung lagi “dengan takhyul yang paling
bodoh”.
Orang Banten mempunyai hukum juga, tetapi,
kata van Breugel, pada umumnya mereka lebih suka mengikuti hukum alam saja —
darah dibayar dengan darah, pencurian dibayar dengan penjara atau perbudakan
yang kadang-kadang bisa sebagai hukuman bagi hutang yang tak dibayar. Kalau
saja interpretasi sosial boleh diberikan terhadap uraiannya ini maka bisalah
dikatakan bahwa masyarakat Banten, yang disaksikan van Breugel, sedang berada
dalam situasi kemelut yang parah juga.
Bagian yang terpenting dari memorandum ini
ialah uraian tentang komoditi perdagangan dari Banten dan Lampung: lada, kopi,
ndigo, gula, pinang, kelapa, kayu sandalwood, beras, dan sebagainya. la
menguraikan satu persatu komoditi ini. la menguraikannya mulai dari tempat
tumbuh dan cara pemeliharaan sampai dengan prospek perdagangannya, la juga
bercerita tentang perdagangan candu yang dikuasai Letnan Cina dan berkisah pula
tentang betapa maraknya penyelundupan barang haram ini. Cerita yang
mengasyikkan juga ialah tentang bajak laut. Orang Mandar, katanya, adalah yang
paling aktif dalam penyelundupan, artinya mereka sering berhasil mengelakkan
monopoli VOC. Tentang usaha pemberantasan perompakan ia mengusulkan agar
kekuatan armada Banten diperkuat, umpamanya dengan memberi bantuan mesiu.
Akan tetapi, bagaimanakah keadaan ibu kota
Banten? Kalau tentang desa ia mengatakan bahwa desa orang Banten sangat tak
beraturan, sedangkan tentang ibu kota, ia melukiskan tentang dinding-dinding
yang dulu pernah mengitari ibu kota sekarang telah hancur lebur berantakan.
Perbentengan telah hancur dan di atas runtuhan itu rumah-rumah baru didirikan
karena jumlahnya cukup banyak inilah Banten, katanya, “masih bisa disebut
kota”. Rumah-rumah umumnya terbuat dari bambu, hanya sebagian kecil saja
memakai bingkai kayu, sedangkan para pejabat negara, seperti menteri dan
“pendeta” (maksudnya barangkali kadhi kerajaan) dan beberapa orang lain
mempunyai rumah batu. Orang Cina tinggal di dua kampung yang dipenuhi oleh
rumah tembok batu juga. Istana raja dikelilingi benteng berbentuk setengah
bulan, yang diperkuat dengan 58 meriam, tetapi untuk pertahanan istana yang
dikelilingi benteng ini tak ada artinya apa-apa. Di sekeliling benteng itu ada
perumahan VOC. Ada tiga pasar di Banten, yaitu Karang Antu, Tumanggung, dan sebuah
pasar baru. Akan tetapi, semua pasar itu mengalami kemunduran , tidak lagi
seperti dulu ketika Banten masih megah.
Raja yang memerintah pada waktu itu ialah
Sultan Abul Nazar Muhammad, yang menurut van Breugel, sangat dipengaruhi oleh
“paus-paus orang asing” (maksudnya tentu saja ulama-ulama dari negeri lain).
Mereka semakin berpengaruh saja di kalangan masyarakat Banten, bukan saja di
kalangan kraton. Ketika menyebut “paus” ini van Breugel sama saja dengan para
penulis Belanda lain. Kata “paus” adalah sebutan ejekan bagi ulama. (Belanda
abad ke-18 sangat anti-Katholik rupanya). Van Breugel jengkel juga karena ia
melihat sang Sultan tidak menaruh hormat lagi pada VOC.
Bukan itu saja, menurut pengamatannya, Sultan
asyik dengan segala macam kemewahan, padahal kesultanan telah jatuh miskin.
Akibatnya, tentu bisa diduga, Sultan berhutang ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya
Sultan ini seorang yang baik hati, katanya, sayang ia tidak mempunyai penasehat
yang baik, sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan, yang malah
sibuk menghalangi mereka untuk berhubungan dengan orang Eropa.
Pada umumnya para bangsawan ini sudah cukup
puas dengan tempat tinggal yang menyenangkan, perahu-kesenangan, dan
dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Pengawas gudang lada sang raja ialah
seorang yang bernama Kiai Aria Astradinata. la adalah anak seorang tukang batu
Cina yang telah disunat (maksudnya tentu saja, telah masuk Islam). Jabatan
sebagai kepala gudang ini dianggap sebagai sesuatu yang turun temurun. Paman
raja, Pangeran Raja Kusuma, kata van Breugel, adalah seorang yang alim, tetapi
ia tampaknya agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya menghabiskan
waktunya untuk beribadah serta menangisi nasib tanah airnya yang hari demi hari
dilanda kemerosotan.
Ketika Van Breugel menulis tentang Pangeran
Raja Kusuma ini ia mungkin merasa simpati juga. Ia bisa juga merasakan apa
artinya hidup ketika kejayaan lama hanya tinggal kenangan belaka. Kesedihan
sang pangeran tua ini tentang kemerosotan negerinya tentu bisa dimaklumi. Sang
Pangeran yang hidup pada abad ke-18, tentu saja tidak mengalami secara langsung
masa ketika Banten adalah kerajaan yang makmur dan disegani dan merupakan salah
satu kerajaan yang terkuat di Kepulauan Nusantara ini, tetapi pengetahuan akan
masa gemilang yang telah hilang itu tak begitu saja terpupus dalam ingatan
kolektif Banten. Bahkan asal usul berdirinya kerajaan pun masih segar dalam
ingatan kolektif anak negeri.
Bilamana situasi kesekarangan telah dirasakan
semakin mencekam bagaimanakah ingatan akan masa lalu yang telah lewat itu akan
hilang begitu saja? Bukankah nostalgia kultural itu sesungguhnya tidak lain
daripada perlawanan terhadap tirani sang waktu? Dengan bernostagia, perjalanan
waktu dijadikan tak berfungsi dalam kesadaran. Ketika perasaan kerinduan ini
telah semakin mencekam, karena situasi kesekarangan telah sedemikian menista
harga diri, maka masa lalu tiba-tiba bisa saja berubah menjadi “masa depan”
yang harus dirangkul dengan segera.
Janganlah pula heran bilamana kepedihan masa
kini telah semakin keras dirasakan, maka tarikan masa lalu yang telah dirasakan
sebagai “masa depan” itu semakin keras dan menggetarkan juga. Kalau telah
begini, maka “terjadilah apa yang harus terjadi”. Kita pun berhadapan dengan
salah satu irama yang hampir menetap dari sejarah Banten setelah kejayaan
kerajaan telah terlepas dari tangan.
Asal-usul Banten sebagai sebuah kerajaan
Islam agak unik juga. Kerajaan ini tidak bermula dari tumbuhnya dan membesarnya
sebuah kekuasaan lokal, tetapi muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan
dari luar. Dalam usaha untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan
Gunung Jati, ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga,
mendirikan Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan
Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama. Ketika
kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung Barat Pulau Jawa
(1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran Adipati Hasanuddin pun
menjadi Sultan Hasanuddin.
Ternyata ini adalah sebuah keputusan politik
yang sangat tepat. Awal abad ke-16 adalah masa yang kritis bagi perairan Asia
Tenggara. Pada tahun 1511, Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang ingin
melumpuhkan Mekah dan Constatinopel – dua pusat kekuasaan dan agama Islam,
berhasil menaklukkan Malaka. la memperhitungkan bahwa dengan jatuhnya Malaka,
maka berarti leher dari kedua pusat Islam itu telah bisa dicekik Portugis.
Malaka adalah salah satu pusat perdagangan yang besar dunia pada abad ke-15,
tetapi panglima Portugis, yang didorong oleh keuntungan dagang dan kekuasaan
agama ini, sama sekali tidak menduga bahwa kejatuhan Malaka bukan saja
menyebabkan Malaka menjadi sasaran penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan
Barat Indonesia, tetapi juga menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat
perdagangan Islam. Maka sementara beberapa negara-kota di pantai Utara Jawa dan
Johor, penerus dinasti Malaka, serta
Aceh-Darussalam, sibuk berkali-kali menyerang
Malaka, di tempat-tempat lain kota-kota dagang baru pun bermunculan pula. Pada
waktunya sebagian dari kota-dagang dan pelabuhan persinggahan bagi para
pedagang Islam yang baru ini pun tumbuh sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika
inilah Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh-Darussalam serta Banten secara pelan
tetapi pasti menjadi kerajaan Islam yang besar. Sementara itu di pedalaman
Jawa, Mataram pun tampil pula sebagai pemegang hegemoni di “negara-negara kota”
di pantai Utara. Sejak akhir abad ke-16 dan akhir abad ke-17 boleh dikatakan
sebagai the age of Islamic hegemony dalam sejarah Asia Tenggara.
Karena itulah Schrieke, seorang ahli filologi
Islam, sosiologi dan sejarah Belanda yang terkemuka (yang sempat juga bekerja
pada kantor Penasehat Bumiputra) sempat juga membuat teori bahwa penyebaran Islam
di Kepulauan Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya
sebagai “race with Christianity” (perlombaan dengan Kristen). Soalnya ialah
setelah Vasco da Gama mendarat di Calicut, India (1498), apalagi setelah
Portugis berhasil menaklukkan Malaka maka “jalan ke Timur” untuk mencari
rempah-rempah dan menyebarkan agama, telah terbuka pula bagi para pelaut,
pedagang, penginjil, dan advonturir Eropa. Perairan Nusantara pun menjadi ranah
persaingan dari segala bangsa, baik yang datang dari Eropa, seperti Portugis,
Spanyol, kemudian datang Belanda, Inggris, bahkan juga Denmark, apalagi Asia,
yang memang telah berdatangan sejak awal abad Masehi.
Tradisi sejarah Banten tidak bisa melupakan
bahwa Maulana Jusuf tewas ketika ia ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan
kesultanan Banten ke Palembang, tetapi dengan memakaikan keuntungan dari
tinjauan ke belakang (atau historical hindsight, kata orang sana) kekalahan ini
sesungguhnya bisa dilihat sebagai awal dari konsolidasi kekuasaan internal
Banten. Dan sejak itu pula Banten semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar
di Pulau Jawa. Saingan Banten di Nusantara sebagai entrepot pelabuhan yang
menerima barang impor, mengirim barang ekspor, dan mengekspor barang impor-
hanya Aceh di Barat dan Makassar di Timur. Ukuran kebesaran enterpot ini bisa
dilihat juga antara lain pada perkiraan jumlah penduduk yang diberikan oleh
para pelapor asing.
Tentang Banten laporan-laporan asing
memperlihatkan bahwa antara tahun 1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga
dari jumlah penduduk. Sebuah perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa
penduduk Banten lebih dari 100 ribu, tetapi pada perkiraan pada tahun 1672
telah memperlihatkan lonjakan jumlah yang hebat. Pada waktu itu diperkirakan
jumlah penduduk 800 ribu. Sepuluh tahun kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun
1696 telah turun menjadi 125 ribu. Sudah pasti perkiraan jumlah penduduk itu
tidak akurat, tetapi dalam perbandingan perkiraan ini memperlihatkan bahwa
Banten mempunyai penduduk yang terbesar di Nusantara. Saingannya hanya
perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624. Karena itu bisa jugalah
dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten selama abad ke-16 – abad
ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk yang drastis dari tahun
1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun 1682 itulah masa akhir
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu sejarah Banten hanyalah berisikan
kisah kemerosotan saja sampai akhirnya menjadi residentie Banten.
Salah satu laporan yang menarik dibuat oleh
orang Belanda, Lodewijk, yang datang ke Banten pada tahun 1596 bersama
komandannya, Cornelis de Houtman. Dengan jelas sekali ia menggambarkan sifat
internasional entrepot Banten. Antara lain ia bercerita tentang “pembagian
kerja” dari anggota komunitas asing yang berada di Banten. Orang Persia,
menurut laporannya, berdagang permata dan obat-obatan. Orang Arab dan Pegu
melakukan perdagangan laut yang sibuk membawa barang dari satu tempat ke tempat
lain atau, dengan kata lain, menjadi pedagang perantara.Lodewijk tentu saja
tidak mengatakannya dan ia pasti juga tidak tahu, tetapi peranan Arab sebagai
pedagang di perairan Nusantara ini barangkali telah dimulai sejak abad ke-11
ketika Cina menutup pelabuhannya bagi pedagang asing. Ini pulalah salah satu
sebab dari awal terjadinya Islamisasi di kawasan ini. Kalau cerita Lodewijk
diteruskan, maka ia pun mengatakan bahwa orang Keling lebih suka mengadakan
investasi dengan bunga. Atau kalau dengan istilah yang biasa dipakai sebagai
cheti, yang dengan kata lain, tentu bisa disebut rentenir.
Ternyata orang Melayu, menurut Lodewijk,
mempunyai hobby yang sama pula. jika laporan Lodewijk ini benar, maka kita pun
bisa juga mengatakan bahwa ajaran Islam tentang riba tidak masuk perhitungan
para pedagang Melayu itu. Jadi, sama saja dengan “konglomerat Melayu” sekuler
zaman sekarang — pokoknya keuntungan masuk. Kalau orang Gujarat, mereka pada
umumnya adalah pelaut dan, tentu bisa diduga, miskin-miskin. Lodewijk juga
bercerita tentang pedagang besar yang bernama Cheti Maluku yang berhubungan
dagang dengan orang Belanda dan Inggris; tentang Kojah Rayoan, seorang pedagang
Turki yang kaya-raya. Sebagaimana kota pelabuhan lain Sjahbandar Banten juga
orang asing. la orang dari Keling. Ketika ia sampai di Banten, kata Lodewijk,
“ia tak punya apa-apa, maka ia pun menjalankan semua kerja yang hina untuk
menghidupi dirinya.” Dengan kata lain, Banten di abad ke-16 dan awal abad ke-17
adalah “a land of opportunities”– negeri yang membuka semua kesempatan. Masuk
akal juga kalau Cornellis de Houtman, pelopor Belanda ke Nusantara, mendarat di
Banten dan kemudian menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya.
Tak lama kemudian Inggris, yang praktis
merupakan pengimport tunggal tekstil dari anak benua India, juga menjadikan
Banten sebagai pusat aktivitasnya di Nusantara. Ini tentu adalah fakta sejarah
biasa saja – orang berdagang tentu mencari pusat kegiatannya – tetapi sialnya
dalam sejarah Indonesia yang diajarkan oleh para pejabat negara Indonesia yang
merdeka, tahun kedatangan Cornellis de Houtman ke Banten ini dijadikan sebagai
masa awal dari penjajahan Belanda di Indonesia. Maka, kita pun ikut larut dalam
pandangan sejarah yang bodoh dan sesat ini dengan mengatakan bahwa “Indonesia
350 tahun berada di bawah kolonialisme Belanda.”
Namun, biarlah hal ini tak dilanjutkan,
maklum para pejabat itu tidak bisa membedakan mana yang mitos dan mana yang
sejarah. Maka, kalau cerita dilanjutkan, bisalah dikatakan bahwa kerap kali
juga orang membandingkan Banten dengan Aceh. Salah satu hal yang dibandingkan
itu ialah kenyataan bahwa Banten tidak pernah mempunyai penguasa perempuan.
Aceh mempunyai empat orang sultanah yang memerintah berturut-turut di abad
ke-17 (Sialnya, seorang pelapor Inggris curiga juga, jangan-jangan sultanah
yang berada di belakang tirai ketika menerima perutusan Inggris, seorang
laki-laki yang menyamar. la adalah sultanah yang terakhir).
Hanya saja dalam perbandingan ini sering
terlupakan bahwa tumbuhnya Banten sebagai pusat kekuasaan dan dagang terjadi
ketika Sultan Abdul Kadir (1596-1618) masih harus berada di bawah pewalian,
karena belum dewasa. Selama lima tahun yang kritis (1600-1605) yang tampil
sebagai tokoh utama ialah Nyai Gede Wanagiri. Seorang pelapor Inggris (Scott)
menyatakan kekagumannya ketika ia berkata bahwa “perempuan tua ini menguasai
para wali dan lain-lain,.. walaupun ia bukan berdarah kraton, tetapi karena
kearifannya sangat dihargai oleh semua (yang berkuasa) ia memerintah
seakan-akan ia adalah satu-satunya ratu di negeri ini.” Maka begitulah kalau
aturan main dalam pemerintahan telah cukup jelas, pemerintahan bisa dijalankan
berdasarkan kearifan yang paling unggul.
Kalau De Breugel, yang menulis memorandum
pada tahun 1787, sempat mengatakan bahwa orang Banten meskipun punya hukum
tetapi lebih suka memakai hukum alam, tidak demikian halnya pada abad ke-17.
Seorang pendeta dari Missions Etrangeyes- misi Katholik Prancis- melaporkan
bahwa Banten, “mempunyai dua hakim utama, yang pertama Syahbandar Besar, yang
tahu semua masalah perdagangan; dan yang lain memakai nama Thiaria (Shari’ah),
yang mempunyai jurisdiksi pada semua masalah perdata dan pidana, yang menghukum
dengan berat kejahatan pencurian dan perzinaan.”
De Breugel menggambarkan suasana kemunduran
dan kemelut. Ketika itu kraton Banten praktis telah menjadi fiefdom VOC atau
berada di bawah suzereniteit maskapai – yang-bermain sebagai-negara ini dan
harus pula membayar utang kepada VOC, karma telah membantunya menghadapi
pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750-52). Nada dari uraiannya hampir
sama dengan gambaran para pelapor lain tentang kerajaan-kerajaan Nusantara yang
sedang mengalami kemunduran.
Bedanya hanyalah pada detail-detail sejarah –
nama tempat, nama orang dan bentuk peristiwa, serta waktu. Ada kerajaan yang
telah mengalami krisis di abad ke-18 – umumnya berada di pulau Jawa – tetapi
ada pula yang bare mengalaminya pada abad ke-19 – umumnya di kerajaan-kerajaan
di daerah lain (kecuali Maluku). Bahkan kisah yang ditulis Abdullah bin Abdul
Kadir Munsyi, yang dikirim Inggris, yang telah mendirikan dan menguasai Singapura,
untuk meninjau kerajaan-kerajaan di pantai Timur Tanah Semenanjung,
memperlihatkan suasana yang lama, meskipun yang dikisahkan berbeda-beda.
Suasana kemelut menjelang kejatuhan selalu membayangkan otoritas kekuasaan yang
lemah, masyarakat yang tak peduli, hukum yang kehilangan peran, ekonomi yang
kehilangan gairah, serta keamanan yang tak terjamin.
Sedangkan laporan-laporan asing tentang
Banten abad ke-16 dan abad ke-17 juga tak pula jauh bedanya dengan laporan
tentang kerajaan maritim lain yang sedang berkembang. Kisahnya tentu saja
berbeda-beda, tetapi suasana sosial-politik dan ekonomi memantulkan gambaran
yang tak jauh berbeda. Jika saja nama-nama orang diganti dan nama-nama tempat
ditukar pula maka uraian tentang Banten rasanya bisa saja dijadikan tentang
Makassar dari abad yang sama. Bahkan juga bisa ditukarkan dengan Riau-Johor
abad ke-18, sebagaimana diuraikan oleh kitab Tufhat an Nafis, yang ditulis Raja
Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad dari Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil dekat
Tanjung Pinang, Pulau Bintan.
Ciri-ciri umum ialah persaingan dagang
internasional yang meriah, sistem hukum berlaku baik, raja yang bijaksana, ilmu
pengetahuan berkembang, dan aktivitas keagamaan menjadi pertanda dari kearifan
Sultan. Tidak kurang pentingnya ialah suasana ini bukan saja mengundang
kedatangan para pedagang dari segala penjuru dunia, tetapi juga para ulama.
Dalam hal ini, baik sumber asing maupun sumber lokal, yang disebut
historiografi tradisional itu, memberikan kesan yang tidak jauh berbeda. Jadi masuk
akal juga kalau van Leur, yang memperkenalkan pendekatan sosiologi Max Weber
untuk memahami sejarah, membagi kerajaan di kepulauan Indonesia atas dua
kategori, yaitu maritim dan agraris. Banten, Makassar, Aceh dan lain-lain
memperlihatkan ciri-ciri yang khas maritim.
Dengan pendekatan ideal type — membuat
bentukan analisis berdasarkan sifat kategori yang paling ekstrim- maka negara
maritim berarti kegiatan dagang, kebudayaan dinamis, dan pandangan ke luar.
Sedangkan Mataram bersifat agraris — keterikatan pada tanah, pertanian, sikap
kultural yang konservatif, dan cenderung mempunyai pandangan ke dalam (inward
looking). Konon Sultan Mataram pernah mengatakan pada utusan Belanda yang
datang menghadap di kratonnya, “Tuan-tuan boleh berdagang di negeri saya tanpa
bayar pajak, sebab saya bukan pedagang seperti penguasa Banten dan Surabaya,
yang harus merasa takut dengan persaingan tuan.” Penguasa maritim sejauh
mungkin ingin mendapatkan keuntungan dari perdagangan laut, bahkan kalau perlu
— bahkan biasa sekali-mereka pun ikut berdagang. Mataram tentu lebih suka
mendapatkan upeti dari para bangsawan yang telah mendapat lungguh serta
menyibukkan diri dengan penghalusan kebudayaan dan sistem status sosial.
Dengan segala ciri-ciri kerajaan maritim yang
diperlihatkan Banten, tentu mudah juga dipahami kalau di masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang ulama besar yang berasal dari
Makassar, Syekh Jusuf al Makasari, bukan saja tertarik untuk mendatangi Banten,
tetapi bisa merasakannya sebagai negeri sendiri. Di bawah sultan yang bijaksana
inilah Banten mencapai tingkat kegemilangannya yang tertinggi. Ia mengirimkan
utusan diplomatik ke negeri-negeri Islam dan menyuruh anaknya naik haji sambil
mengunjungi Turki.
Tetapi di saat ini pulalah VOC sedang berada
pada tahap perkembangannya yang agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta
memaksakan sebuah sistem yang sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara
yang bertolak dari pemikiran laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah
monopoli. Maka perbenturan antara Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi
persenjataan yang lebih canggih dan tentara yang telah mengalami suka-duka
berbagai macam perang, dengan Banten, yang lebih sibuk menjalin ikatan
perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten kalah. Akan tetapi, lebih dari
itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng bermula dari pengkhianatan sang
putra mahkota, Sultan Haji.
Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari
kisah yang “menunda kekalahan” saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat
pada ayahandanya serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang
kraton pun meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi
dan pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada
kalanya menjadi sasaran pemberontakan.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah)
bisa dikalahkan, independensi Banten mulai setahap demi setahap digerogoti.
Sultan Haji memerintah, tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian
hegemoni ini secara berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels)
sampai akhirnya resmi berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda —
kesultanan telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten adalah sejarah tentang
sebuah daerah di tanah air kita, tetapi dari sudut pandang lain, sejarah Banten
mungkin bisa juga dilihat sebagai sebuah gambaran umum dari “lahir dan
tumbangnya” kekuasaan pribumi — lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat dagang,
melawan monopoli, perang, kalah, hegemoni asing, dominasi, akhirnya
kolonialisme.
Jika diartikan secara harfiah ungkapan
Prancis l’histoire se repete, sejarah berulang, memang tidak benar. Ungkapan
ini tidak benar kalau sejarah diartikan sebagai salinan yang murni dari “apa,
siapa, di mana, dan bila”, tetapi mempunyai validitas relatif kalau yang ingin
ditemukan ialah pola umum yang berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan
hanya sekali terjadi, einmalig, itu sesungguhnya mempunyai unsur yang “khusus”
dan “umum”. Adapun yang khusus dan tak berulang ialah kenyataan bahwa “Sultan
Ageng Tirtayasa (siapa) yang melawan usaha penetrasi kekuasaan Belanda (apa) di
Banten (di mana) pada tahun 1682 (bila),” sedangkan yang merupakan gejala umum
itu ialah kecenderungan bahwa “raja adalah lembaga yang pertama yang melawan
usaha penetrasi Belanda”. Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun
dalam waktu atau abad yang berbeda-beda.
Meskipun dengan memakai konsep pola umum ini
Banten unik juga-jika bukan dalam corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya
begitulah yang terjadi pada struktur kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua
pejabat Belanda. Pada gilirannya kesadaran ini memberi akibat juga pada cara
sebuah bangsa yang sedang berada dalam proses pembentukannya untuk melihat
sejarahnya. Begitulah umpamanya, Onno Zwiervan Haren menulis sebuah drama yang
mencekam dengan judul Agon Sulthan van Bantham . Drama ini berkisah tentang
bantuan militer Belanda pada anak Sultan Ageng yang durhaka. Dan kemudian,
siapakah yang bisa melupakan karya Multatuli, Max Havelaay, yang berkisah
tentang penderitaan rakyat dan ketidakberdayaan pejabat yang bermaksud baik?
Kolonialisme adalah hubungan internasional yang bercorak subordinatif dan
eksploitatif mempunyai akibat sosial yang penting.
Di satu pihak, kolonialisme mempunyai
kemungkinan untuk menciptakan mental dependensi (terhadap orang asing) dan
kesadaran hirarki sosial yang hegemonik (terhadap sesama anak negeri). Akan
tetapi, di pihak lain, sifat eksploitatif dari kolonialisme kemudian bisa juga
menjadi landasan dari terwujudnya rasa kesamaan sejarah dan nasib yang bersifat
translokal. Nasionalisme yang kolonial pun tumbuh juga. Di samping mempunyai
pengaruh terhadap sejarah pergerakan kebangsaan, Banten mempunyai tempat khusus
juga dalam perkembangan historiografi Indonesia. Ketika Sartono Kartodirdjo
(sekarang Prof Dr) menyampaikan disertasinya tentang pemberontakan Cilegon 1888
di Universitas Amsterdam (1966) maka lembaran baru sejarah penulisan sejarah
Indonesia pun dibuka. Dengan buku untuk pertama kali seorang sejarawan
Indonesia tampil ke depan dengan menyoroti sebuah “peristiwa kecil”, dengan
aktor-aktor “orang kecil”, ulama lokal dan petani, dengan memakai pendekatan yang
bercorak multidimensional.
Maka dengan begini sebuah alternatif dalam
penulisan sejarah diperkenalkan. Sejarah politik dengan peristiwa besar dan orang
besar kini telah didampingi oleh studi yang semakin mendekati pada denyut
sejarah sesungguhnya-manusia dengan segala keresahan dan harapannya pada
tingkat yang paling intim, yaitu desa.
Pemberontakan Cilegon sebenarnya
memperlihatkan hal lain lagi. Banten yang telah kehilangan kesultanan ternyata
tidak kehilangan beberapa hal yang fundamental, yaitu semangat independen,
“nasionalisme lokal” yang kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika
kesultanan telah mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan
di saat kedudukan bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama
semakin tampil sebagai pemimpin lokal. Banten, di masa krisis politik yang
berkepanjangan ini ketika “hukum alam” (sebagai kata van Breugel) lebih penting
dari ketentuan hukum yang berlaku golongan baru pun semakin menampakkan
dirinya. Mereka adalah para jawara, pendekar yang selalu siap membela untuk
sesuatu yang dianggap benar. Sejak kejatuhan kesultanan hampir tidak ada lagi
satu peristiwa di Banten yang bukan dimotori oleh ulama dan jawara. Maka
bisalah dimaklumi kalau Aceh kadang-kadang disebut sebagai negeri “uleebalang
dan ulama”, Banten pun dikenal pula sebagai negeri ” ulama dan jawara “.
Sejak resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di perairan Nusantara, seakan-akan diharuskan untuk menjadi daerah-sampingan saja. Kadang-kadang orang dikejutkan oleh tampilnya hal yang perlu dicatat, seperti tampilnya ulama besar Syekh Nawawi al Bantani, yang menerbitkan buku-buku di pusat-pusat pengetahuan dunia Islam, tetapi pada umumnya tidak lagi berperan apa-apa yang penting. Pemberontakan “komunis” 1926 — seperti juga dengan yang terjadi di Silungkang (Sumatera Barat) — memang pantas dikenang, tetapi dalam tinjauan dinamika sejarah secara keseluruhan peristiwa ini tidak lebih daripada deviation belaka. Maka mestikah diherankan kalau sudah lama juga para tokoh Banten telah menginginkan agar Banten bisa mendapatkan kebebasan relatif untuk mewujudkan kembali “janji sejarah” yang sekian lama seakan-akan terpendam?
Sejak resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di perairan Nusantara, seakan-akan diharuskan untuk menjadi daerah-sampingan saja. Kadang-kadang orang dikejutkan oleh tampilnya hal yang perlu dicatat, seperti tampilnya ulama besar Syekh Nawawi al Bantani, yang menerbitkan buku-buku di pusat-pusat pengetahuan dunia Islam, tetapi pada umumnya tidak lagi berperan apa-apa yang penting. Pemberontakan “komunis” 1926 — seperti juga dengan yang terjadi di Silungkang (Sumatera Barat) — memang pantas dikenang, tetapi dalam tinjauan dinamika sejarah secara keseluruhan peristiwa ini tidak lebih daripada deviation belaka. Maka mestikah diherankan kalau sudah lama juga para tokoh Banten telah menginginkan agar Banten bisa mendapatkan kebebasan relatif untuk mewujudkan kembali “janji sejarah” yang sekian lama seakan-akan terpendam?
GEGER
CILEGON
Sumber data : buku Sartono Kartodirdjo,
Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984
Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di
Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”,
pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap
pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama
itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat.
Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik
perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin
oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa
Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama
pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang
terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan
pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan
pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang
serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya
di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai “Kiyai
Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam mengadakan acara dzikiran di
rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan
tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah
untuk kedua kalinya pada tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh
masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan.
Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di
pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah
kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung menggunakan
kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti pimpinan pesantren
dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar
menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai
terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji
Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji
Asnawi dari Lempuyang dan Haji Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini
timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu
singkat pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah
lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia.
Pra
Peristiwa Geger Cilegon
Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger
Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi
al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga
pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan
Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan
harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan
seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil,
Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam
itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan,
murid-muridnya, akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua
perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan,
segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah;
bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan
penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk
dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci
dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884
keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka;
kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua
tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air
minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan
kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan"
menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa.
Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit
demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.
Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten
pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu,
Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar
daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini
sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan
mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya
tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana
Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 orang
anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan (PAA. Djajadinigrat, 1936:8).
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit
wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880).
Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial
menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau
kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan
menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun
turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap
sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu
pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih,
dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar
kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat
apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu. Ironisnya, kerbau atau kambing yang
dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan,
sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang
datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang
ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari
40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya
(Kartodirdjo, 1988:88).
Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan,
jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena
tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka
kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir
dan do'a. Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung
Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang
laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak,
Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya
merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat
bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa
rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang
sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan
keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa
tahun kemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan
keresahan. Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem
perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib,
seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu,
pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan
rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten,
setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun
berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, sehingga
jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun
1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai
macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah
pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak
jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak
mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut
menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang
bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka
lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon
pertolongan Allah. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon
kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala
bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin
penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa
perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi
penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya.
Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di
depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya
ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji
Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia
dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden
(Hamka, 1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa
keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Jalannya
pemberontakan
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju
"pemberontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
4 Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali
pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang,
Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh
para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di
rumah H. Iskak di Saneja.
Maret April 1888, pertemuan di rumah K.H.
Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di
rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para
tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga
dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan,
pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara
lain pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat
Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada
saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888,
akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli 1888.
Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi
tersebut antara lain (1) akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni
perkawinan antara putra bupati Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana
banyak hadir para pejabat, (2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer
disertai bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3)
adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di
kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke
pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus
larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan
khitanan.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888,
diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir pematangan gerakan di
rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji
Sa'id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji
Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji
Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di
Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu
kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak,
memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan
para kiyai yang hadir. Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera
berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak.
Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji
Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari
Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena
sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal
29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji
Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan
murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya
pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal
sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan
pertemuan dengan murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam
masjid di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun
dan Gulacir yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail,
Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari
Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke
berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud
dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor
ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke
Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate
Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang
dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di
Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah
Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang
pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil
meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang
Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai
dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain
putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan
bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh
Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang kemudian dijadikan sebagai pusat
penyerangan.
Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus
Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber
bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada
hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon.
Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang
dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai
Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari
Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat takbir mereka
menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok:
kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara
untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani
dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok
ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak
menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa
pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan
(Kartodirdjo, 1984:301-303).
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois
Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus
Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert
Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan
Ulric Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak
disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang
kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu.
Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden
Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat "tempat
kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat
Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55), sehingga ia termasuk
"orang yang tidak berdosa" (1936:56) Menurut rekaman PAA.
Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu, adalah ketika ia akan
mencoba bermusyawarah dengan para pejuang (peroesoeh). Namun di antara mereka
terdapat seorang tahanan-titipan kasus pencurian hasil tangkapan Wedana
Tjangradiningrat yang sedang menunggu putusan perkara, yang bernama Kasidin.
Kasidin keluar penjara ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika
Tjakradiningrat mendatangi tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang
terdengar suara: ' ... djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !',
tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata:
' ... ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin memarang
leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56)
Seperti yang sudah direncanakan semula,
berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus
pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan
Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik,
seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin
dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang,
Kaloran dan Keganteran. Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon
dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak". Tetapi seorang
babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa
kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang
serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah
pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang
sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid
sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum
buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke
Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir
dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya
dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan
pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian "Geger Cilegon" itu
mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah
kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang
akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat
jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik,
namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan
kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah.
Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin
formal untuk menyalurkan aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan
itu, dalam bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin
kharismatik yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan
akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat
Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya;
sebaliknya pihak penjajah juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten
dengan rakyatnya sangat militan itu.
Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin
para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan politik keagamaan yang
diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah
jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial
"merambah" dalam kehidupan keagamaan masyarakat; masalah yang
dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari
motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari
keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada
orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi
Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda
pun tidak lepas dari tugas penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen
kepada penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat
juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang
dibuat pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat
dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling
berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan
pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama
memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20
kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia
Belanda haruslah mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak
dilakukan organisasi swasta. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda
dipertegas sejalan dengan “politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi
organisasi zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk
sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada
agama Kristen.
Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini
erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat
Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka
pemberontakan akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus
dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan
kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling
menunjang" (Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa
apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama
dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi
pemerintahan Belanda.
Tetapi dalam kenyataannya, justru karena
tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi
perlawanan dari rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah
Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai
"setan", "kapir landa" sebutan yang di samping
menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh
Islam dan kaum muslimin. Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang
mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah
Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk
agama Kristen.
Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang
guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram,
atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan
bahwa berpakaian ala Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi
ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga
dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda,
misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai "anjing
belanda".
Keyakinan yang memandang rendah semacam
itulah yang mendasari kenapa penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi
pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan
semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat
pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di
sekolah Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja
ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari
Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering menimbulkan
konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya
berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten
terhadap para pamongpraja pendatang.
Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula
yang menyebabkan banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika
pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai
pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan
orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan
termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen
keagamaan mereka cukup tinggi.
Peran
Kyai dan Jawara di Banten
Semenjak pemerintahan kolonial Belanda
menaklukan kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyat Banten
terhadap pemerintah kolonial tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial
memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu
masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam
hal agama dan bersemangat memberontak. Penduduk Banten sebagian besar keturunan
orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang
Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan
penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda dalam hal bahasa dan adat istiadat
dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak,
orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dalam daerah yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam
dan penduduknya yang terkenal sangat taat terhadap agama seperti daerah Banten
sudah sewajarnya jika kiyai menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat.
Kiyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya
dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat.
Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di
pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh
pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan.
Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam.
Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magik) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati masayarakat terhadap jawara.
Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam.
Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magik) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh agama, kiyai, terutama dari
pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang
pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga dipandang sebagai sosok yang paling
dekat pusat kekuatan supernatural, karena itu dipercayai memiliki kekuatan
magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma
seseorang kiyai akan semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk
memahami ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh
masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga ia
dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh
orang-orang biasa.
Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian.
Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar.
Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai. Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.
Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang “terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat.
Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh.
Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magi, satuan-satuan pengamanan.
Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.
Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.
Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian.
Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar.
Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai. Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.
Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang “terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat.
Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh.
Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magi, satuan-satuan pengamanan.
Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.
Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.
Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di
Banten
Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh para ahli belum lengkap.
Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh para ahli belum lengkap.
Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34) Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam. (Roesjan;1954:10)
Karena semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Pajang. (Hamka;1976:181) Disamping itu Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf. (Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34) Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam. (Roesjan;1954:10)
Karena semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Pajang. (Hamka;1976:181) Disamping itu Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf. (Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.
Sejarah kebudayaan Cina Tertua di Banten
Sejarah bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk – bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu. Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa, juga di Indonesia .
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw. Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari 1300 kepala keluarga.
Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk (Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Sejarah bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk – bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu. Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa, juga di Indonesia .
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw. Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari 1300 kepala keluarga.
Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk (Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah
Mengamati berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata (krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987).
Data arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan. Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah, Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230).
Sementara itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan pemukiman manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 : 11-25-1122).
Melihat rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya masalah ini antara lain :
- Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
- Monopoli rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi, disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda. Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56). Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India.
Untuk menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng, pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.
Mengamati berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata (krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987).
Data arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan. Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah, Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230).
Sementara itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan pemukiman manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 : 11-25-1122).
Melihat rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya masalah ini antara lain :
- Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
- Monopoli rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi, disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda. Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56). Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India.
Untuk menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng, pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.
Pekerjaan pertama Deandles adalah membuat
pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Daendels memerintahkan kepada
Sultan Banten. untuk mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar
pekerjaan yang direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya
berawa-rawa, banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga banyak
diantara mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat Daendels marah dan
menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi larinya pekerja-pekerja
itu. Melalui utusan sultan yang datang ke Batavia, Daendels memerintahkan
supaya :
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun
benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda, maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton (Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis, 1881).
Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan, sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II).
Pengerjaan pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja yang mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan).
Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Karena banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk Marica, terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil, akhirnya Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh Daendels sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat menguasai Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11), Daendelas mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi.
Akhirnya Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun
benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda, maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton (Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis, 1881).
Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan, sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II).
Pengerjaan pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja yang mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan).
Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Karena banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk Marica, terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil, akhirnya Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh Daendels sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat menguasai Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11), Daendelas mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi.
Akhirnya Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.
Banten Girang Gerbang Kerajaan Banten
Nuansa Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini. Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat (folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten, meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15 M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M). Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang", prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires (1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide" (Cigading), "Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa) dan "Chemano" (Cimanuk). Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang menjadi label wilayah politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas, yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke pedalaman selatan berbatasan dengan Samudera India.
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.
Nuansa Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini. Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat (folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten, meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15 M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M). Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang", prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires (1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide" (Cigading), "Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa) dan "Chemano" (Cimanuk). Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang menjadi label wilayah politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas, yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke pedalaman selatan berbatasan dengan Samudera India.
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang
dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan
bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa
keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak
lagi dapat dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan
Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan
Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511,
bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama
mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa
Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka
telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun
Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan
ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya
Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu
bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang
serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang
Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik
atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa
Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata
otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis
sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di
sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi
Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang
sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh
Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan
yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan
lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang.
Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat
kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang
tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat
menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar
armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota
Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang
tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya
armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang
bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat
berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang
ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai,
bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada
saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan
ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik
oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan
untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya,
Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih
kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar
akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam
mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai
secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan
yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di
Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang
kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan
ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten
oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu,
sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru
didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.
Masyarakat dan budaya Banten, terutama dengan
alam dan budaya Islamnya, mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali
peristiwa sejarah transformasi pusat administrative politik dari Banten Girang
di pedalaman - yang berada di bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang
Hinduistik ke daerah pantai yang sekarang dikenal dengan Banten Lama. Peristiwa
transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah dan
Maulana Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi masyarakat dan budaya Banten
diletakkan dan ditetapkan dalam format yang berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan
Muarif Ambari, Kepala Pusat Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl)
yang juga staf peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya
"Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia"
(penerbit Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya
Banten dalam panggung sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:
1.)
Fase
Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah bawahan
kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di Banten Girang (Kota
Serang sekarang).
2.)
Fase
awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam disiarkan oleh
Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin yang beraliansi dengan
Demak. Pada masa ini terjadi transformasi keagamaan, perpindahan pusat
pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten sebagai pelabuhan - alternatif setelah
Malaka.
Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di Banten.
Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di Banten.
3.)
Fase
Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana seluruh kekuatan
politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada
dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan
kekuatan ini di antaranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang
berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan
politik tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke
Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan Sultan
Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat Banten. Pada fase
inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya (tamaddun Islam).
4.)
Fase
Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung atau tidak
langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC, masih
berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
5.)
Fase
Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas perang
Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris (1811-1816), pemindahan
administrasi politik ke Serang Surosowan dihancurkan, didirikannya Keraton
Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah Kesultanan Banten menjadi tiga daerah
setara Kabupaten (Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan
landraad (setara residen), pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.
6.)
Fase
Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul berbagai
pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh para
ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah penyakit sampar),
pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai sekarang memasuki masa
pembangunan.
Di
balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar
pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus menerus
menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan
orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para ulama/mubaligh/kiyai. Dalam
situasi seperti ini, yang bermula sejak pertumbuhan Islam di Banten, budaya
pesisiran dan budaya pedalaman di daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy)
terus menerus memantapkan keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya
Banten dapat disetarakan dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
Jawara
dalam kehidupan masyarakat Banten
Di sebagian masyarakat Jawa bagian Barat
umumnya dan Banten khususnya, keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang
sangat panjang. Jawara bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore,
keberadaannya ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang
hingga kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19
kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat selain kaum
ulama dan pamong praja.
Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama
dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal
terpenting. Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama
sebagai sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan
jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi kedudukan
kaum ulama. Namun diantara ketiganya, ulama dan jawara menjadi golongan yang
khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi mata uang, bahkan
karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara dianggap sebagai “khodam”
nya para ulama. Karena dari para ulamalah sebagian besar “keilmuan” jawara itu
berasal. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut
Banten, sebagai “negeri para ulama dan jawara”.
Seiring dengan perjalanan waktu, persepsi
masyarakat terhadap Jawara memiliki pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang
positif sampai ke hal yang negatif. Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak
terlepas dari sepak terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup besar
dalam tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu masa
kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial Belanda. Belakangan,
kehidupan jawara dengan character building yang khas itu menciptakan sub kultur
kebudayaan baru masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu Subculture of Violence
(sub kultur kekerasan). Permasalahan ini muncul ke permukaan akibat
terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga sebagian masyarakat ada yang
menilai jawara identik dengan premanisme.
Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki
motif-motif tertentu dalam melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya
bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan
penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian
hitam dan memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI). Penampilan terakhir inilah yang sebagian besar
masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat tradisional.
Penafsiran
Sejarah Istilah Jawara
Belum adanya pencatatan histographia mengenai
awal mula kemunculan istilah jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat,
menyulitkan untuk diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah
Jawara ini diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan
supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap
persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran
proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah sosial (budaya
tutur) bersifat “stamboom” bukan “geschiedenis” atau “history”, yang secara
akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Dari stamboom yang ada, sebagian besar
masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah
ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat
Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa
daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan
bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM.
Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan
Banten, 1995 : 121-122).
Berdasar catatan seorang peneliti sejarah
kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S menguraikan bahwa sejarah sosial
masyarakat Banten sendiri memiliki empat penafsiran tentang proses kemunculan
istilah jawara:
a.
Penafsiran
pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai
perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka memiliki
kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi juga membela dan
melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke khasan dalam berpakaian dan
gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung ayam, pandai bermain pencak silat
dan memiliki ilmu “kadugalan” yang kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya.
Dalamperkembangan selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh
yang dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan
jawara.
b.
Penafsiran
kedua, ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin.
Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk
sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh Maulana
Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan batin, militan
dan mampu menghancurkan secara cepat menyusup ke pusat pemerintahan Pajajaran
di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu diberi nama Tambuhsangkane, yang
bergerak dengan tidak mengatas namakan kesultanan Banten. Sifat militan yang
dimiliki oleh pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian
dibina secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
c.
Penafsiran
ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara dimulai
dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan pemuda di Distrik
Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi yang menjelang dewasa”.
Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk untuk meningkatkan hubungan
kekerabatan dalam satu lingkungan, memberikan pertolongan dan pelayanan dalam
segala kegiatan termasuk membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau
acara kampung.
Lambat laun tugas
yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini sebagai penyelenggara
acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila tidak diundang atau diserahkan
sebagai petugas penyelenggara mereka akan mengacau atau bahkan menggagalkan
jalannya acara. Pada perkembangannya, kelompok ini berkembang menjadi
organisasi tukang pukul yang dikenal dengan sebutan jawara. Mereka menjadi
organisasi momok yang menakutkan bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja
setempat tidak dapat bertindak tegas kepada mereka.
d.
Penafsiran
keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. Kaum ulama yang
umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik berdasar bakat dan kemampuan
mereka, dimana kelompok pertama merupakan kaum santri yang memiliki bakat di
bidang ilmu agama yang akan menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka
dibekali ilmu hikmah selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya . Sedangkan
kelompok kedua merupakan kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan di
bidang bela diri pencak silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan
fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan ilmu
hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok pertama.
Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah kolonial Belanda dan
kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara.
e.
Penafsiran
kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik
Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles
(1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan
rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan,
dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini
memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna
sebagai jagoan, dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri
pencak silat. Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan
ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk
membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan
itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di
tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, maupun
pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi
dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya
diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh
pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada
para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif
ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk
menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap
semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan
sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap sebagai onsluten
(keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen
(kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar
persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang
merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau
orang yang beani menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini
terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat
yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara
yang merasa citranya terjebak dalam konotasi negatif masyarakat yang diciptakan
Belanda, berusaha mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang
yang jagoan berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki
perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal kelompok
“kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi kejawaraan terdapat
aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk menyelesaikan permasalahan,
terutama terhadap jawara yang berperilaku negatif.
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai
orang yang memiliki kepandaian bermain silat dan memiliki
keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri,
mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa,
sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara
sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari
para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun
istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah “potong
letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam
hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari
kata dasar “jago” yang menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa
Portugis Jogo yang artinya “champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi:
43). Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum
bagi golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada
lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan
untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang
yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih
rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan
di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria
yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan
keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang
dituakan atau sesepuh.
Lalu bagaimana dengan preman?. Secara
etimologi preman merupakan loanword dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna
“orang bebas” atau dalam bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta,
partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang
suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah.
Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif (kata
sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan
sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan
kelompok masyarakat lain.
Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita
masih dapat membedakan makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam
masyarakat. Sehingga kita tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang
berdasar perilakunya.
Sumber tulisan:
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP Jakarta 1996
Miftahul Falah, S.S, Kejawaraan Dalam
Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta1995
Ridwan Saidi, Glosari Betawi, Jakarta 2007
RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan
Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, Jakarta1995
Tasbih & Golok, Tim penelitian Studi
Kharisma Kyai & Jawara di Banten, STAIN Serang, 2002
Kota
Banten, Amsterdam di Hindia Belanda
Banten menurut data historis dan arkeologis
kira-kira pada 450 tahun yang lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang
dikenal dengan julukan Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah
menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan
banyak pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang
membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan internasional.
Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa Eropa pada masa
itu.
Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem
perdagangan zaman kesultanan tidak dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan
berpolitik, seperti yang tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten”
secara resmi diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada
bupati Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang
lalu.
Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar
oleh Menteri Pendidikan pada saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku
ini merupakan hasil dari para peneliti yang bekerjasama antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk
merawat dan merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini
berlangsung hingga tahun 1987. Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut
bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa indonesia,
terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah dan dalam
arsip-arsip yang ada di Eropa. Perancis atau bangsa Eropa lainnya, mengagumi
Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan besar pada abad 17, Banten
di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, kemasyurannya tetap tersimpan dalam
kenangan bangsa perancis kata O’Cornesse.
Menurut catatan sejarah kesultanan Banten
pada tahun 1527 berkembang menjadi pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi
abad 19. kota Banten Lama yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat
(sekarang Provinsi Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang
bersaing dengan negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid
besar.
Kota Banten, atau Bantahan menurut sebutan
negara Barat, dikenal sebagai kota metropolitan sekaligus kota yang produktif.
Karena dilihat dari sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan
Karangantu yang menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de
Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan
Perdagangan yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang
diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada abad
16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap bahwa Kota
Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang ramai dengan para
pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal dalam perdagangan
Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa.
Pada tahun 1522 Protugis mengadakan
perjanjian dagang dengan para pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah
Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Perdagangan lada ini begitu ramai dan
menguntungkan, sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk
mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat
ramai karena mutu jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari
Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk
bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari lada
di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk mengelilingi
dunia.
Para sultan mengadakan tindakan pengetatan
pada hasil produksi lada di Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk
di pedalaman ataupun di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten,
untuk diolah dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah
Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke
Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung
Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan ini bangsa Eropa
menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
Banten bertambah penting posisinya sebagai
kota perdagangan internasional setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain
Malaka, Banten menjadi pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa,
khususnya Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran
untuk merebutkan pasar dan pusat produksi lada. Malaka akhirnya jatuh ketangan
Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan dengan Makasar
dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk menguasai dan
mempertahankan industri lada, sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa
dan Asia lainnya. Akhirnya pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan
pembangunan armada kapal dagangnya dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan
bangsa Inggris dipercaya untuk membangun armada tersebut.
Kesultanan Banten memasuki persaingan
perdagangan lada internasional yang sangat ramai pada kurun waktu antara tahun
1651 dan tahun 1672 sampai VOC (Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr
Abdul Kahhar.
Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten
mampu berdagang langsung dengan Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan
dan Jepang. Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa,
India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius
Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo
(27 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini
digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India,
Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau
Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina
(Yogaswara, 1978: 21-38).
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan
Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung
Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan
mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber
Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda
selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan
Cimanuk.
a.
Sejarah
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin)
menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang
anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan
anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana
Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten
daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad
masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang
ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
b.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama
Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan
internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya
meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta
wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa
tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
c.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya
pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera
dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC
di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan
surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung.
d.
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten
dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan
Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles.
Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal
Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
e.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng
Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang
menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran
Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar
Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia
diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng
Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa
(terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
f.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng
Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin
banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa
menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan
Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di
bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia
mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi
sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut
campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten),
Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten
Tack dan de Saint Martin.
g.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
1.)
Sunan
Gunung Jati
2.)
Sultan
Maulana Hasanudin 1552 – 1570
3.)
Maulana
Yusuf 1570 – 1580
4.)
Maulana
Muhammad 1585 – 1590
5.)
Sultan
Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada
tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
6.)
Sultan
Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 – 1650
7.)
Sultan
Ageng Tirtayasa 1651-1680
8.)
Sultan
Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 – 1687
9.)
Abdul
Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
10.)
Abul
Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
11.)
Muhammad
Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
12.)
Muhammad
Wasi Zainifin (1733-1750)
13.)
Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
14.)
Muhammad
Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
15.)
Abul
Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
16.)
Muhyiddin
Zainush Sholihin (1799-1801)
17.)
Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
18.)
Wakil
Pangeran Natawijaya (1802-1803)
19.)
Aliyuddin
II (1803-1808)
20.)
Wakil
Pangeran Suramanggala (1808-1809)
21.)
Muhammad
Syafiuddin (1809-1813)
22.)
Muhammad
Rafiuddin (1813-1820)
SILSILAH SULTAN BANTEN
SYARIF
HIDAYATULLAH – SUNAN GUNUNG JATI Berputera :
|
||
1.
Ratu Ayu Pembayun.
|
4.
Maulana Hasanuddin
|
|
2.
Pangeran Pasarean
|
5.
Pangeran Bratakelana
|
|
3.
Pangeran Jaya Lelana
|
6.
Ratu Wianon
|
|
|
7.
Pangeran Turusmi
|
|
PANGERAN
HASANUDDIN – PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :
|
||
1.
Ratu Pembayu
|
8.
Ratu Keben
|
|
2.
Pangeran Yusuf
|
9.
Ratu Terpenter
|
|
3.
Pangeran Arya Japara
|
10.
Ratu Biru
|
|
4.
Pangeran Suniararas
|
11.
Ratu Ayu Arsanengah
|
|
5.
Pangeran Pajajara
|
12.
Pangeran Pajajaran Wado
|
|
6.
Pangeran Pringgalaya
|
13.
Tumenggung Wilatikta
|
|
7.
Pangeran Sabrang LorPangeran
|
14.
Ratu Ayu Kamudarage
|
|
|
15.
Pangeran Sabrang Wetan
|
|
MAULANA
YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :
|
||
1.
Pangeran Arya Upapati
|
8.
Ratu Rangga
|
|
2.
Pangeran Arya Adikara
|
9.
Ratu Ayu Wiyos
|
|
3.
Pangeran Arya Mandalika
|
10.
Ratu Manis
|
|
4.
Pangeran Arya Ranamanggala
|
11.
Pangeran Manduraraja
|
|
5.
Pangeran Arya Seminingrat
|
12.
Pangeran widara
|
|
6.
Ratu Demang
|
13.
Ratu Belimbing
|
|
7.
Ratu Pecatanda
|
14.
Maulana Muhammad
|
|
MAULANA
MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :
|
||
1.
Pangeran Abdul Kadir
|
|
|
SULTAN
ABUL MAFAKHIR MAHMUD ‘ABDUL KADIR KENARI (15961651) Berputra:
|
||
1.
Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
|
19.
Pangeran Arya Wirasuta
|
|
2.
Ratu Dewi
|
20.
Ratu Gading20.
|
|
3.
Ratu Ayu
|
21.
Ratu Pandan
|
|
4.
Pangeran Arya Banten
|
22.
Pangeran Wirasmara
|
|
5.
Ratu Mirah
|
23.
Ratu Sandi
|
|
6.
Pangeran Sudamanggala
|
24.
Pangeran Arya Jayaningrat
|
|
7.
Pangeran Ranamanggala
|
25.
Ratu Citra
|
|
8.
Ratu Belimbing
|
26.
Pangeran Arya Adiwangsa
|
|
9.
Ratu Gedong
|
27.
Pangeran Arya Sutakusuma
|
|
10.
Pangeran Arya Maduraja
|
28.
Pangeran Arya Jayasantika
|
|
11.
Pangeran Kidul
|
29.
Ratu Hafsah
|
|
12.
Ratu Dalem
|
30.
Ratu Pojok
|
|
13.
Ratu Lor
|
31.
Ratu Pacar
|
|
14.
Pangeran Seminingrat
|
32.
Ratu Bangsal
|
|
15.
Ratu Kidul
|
33.
Ratu Salamah
|
|
16.
Pangeran Arya Wiratmaka
|
34.
Ratu Ratmala
|
|
17.
Pangeran Arya Danuwangsa
|
35.
Ratu Hasanah
|
|
18.
Pangeran Arya Prabangsa
|
36.
Ratu Husaerah
|
|
|
37.
Ratu Kelumpuk
|
|
|
38.
Ratu Jiput
|
|
|
39.
Ratu Wuragil
|
|
PUTRA
MAHKOTA SULTAN ‘ABDUL MA’ALI AHMAD, Berputera:
|
||
1.
Abul Fath Abdul Fattah
|
8.
Pangeran Arya Kidul
|
|
2.
Ratu Panenggak
|
9.
Ratu Tinumpuk
|
|
3.
Ratu Nengah
|
10.
Ratu Inten
|
|
4.
Pangeran Arya Elor
|
11.
Pangeran Arya Dipanegara
|
|
5.
Ratu Wijil
|
12.
Pangeran Arya Ardikusuma
|
|
6.
Ratu Puspita
|
13.
Pangeran Arya Kulon
|
|
7.
Pangeran Arya Ewaraja
|
14.
Pangeran Arya Wetan
|
|
|
15.
Ratu Ayu Ingalengkadipura
|
|
SULTAN
AGENG TIRTAYASA -’ABUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :
|
||
1.
Sultan Haji
|
16.
Tubagus Muhammad ‘Athif
|
|
2.
Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim
|
17.
Tubagus Abdul
|
|
3.
Pangeran Arya Ingayudadipura
|
18.
Ratu Raja Mirah
|
|
4.
Pangeran Arya Purbaya
|
19.
Ratu Ayu
|
|
5.
Pangeran Sugiri
|
20.
Ratu Kidul
|
|
6.
Tubagus Rajasuta
|
21.
Ratu Marta
|
|
7.
Tubagus Rajaputra
|
22.
Ratu Adi
|
|
8.
Tubagus Husaen
|
23.
Ratu Ummu
|
|
9.
Raden Mandaraka
|
24.
Ratu Hadijah
|
|
10.
Raden Saleh
|
25.
Ratu Habibah
|
|
11.
Raden Rum
|
26.
Ratu Fatimah
|
|
12.
Raden Mesir
|
27.
Ratu Asyiqoh
|
|
13.
Raden Muhammad
|
28.
Ratu Nasibah
|
|
14.
Raden Muhsin
|
29.
Tubagus Kulon
|
|
15.
Tubagus Wetan
|
|
|
SULTAN
ABU NASR ABDUL KAHHAR – SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
|
||
1.
Sultan Abdul Fadhl
|
6.
Ratu Muhammad Alim
|
|
2.
Sultan Abul Mahasin
|
7.
Ratu Rohimah
|
|
3.
Pangeran Muhammad Thahir
|
8.
Ratu Hamimah
|
|
4.
Pangeran Fadhludin
|
9.
Pangeran Ksatrian
|
|
5.
Pangeran Ja’farrudin
|
10.
Ratu Mumbay (Ratu Bombay)
|
|
SULTAN
ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :
|
||
-
Tidak Memiliki Putera
|
|
|
SULTAN
ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :
|
||
1.
Sultan Muhammad Syifa
|
31.
Raden Putera
|
|
2.
Sultan Muhammad Wasi’
|
32.
Ratu Halimah
|
|
3.
Pangeran Yusuf
|
33.
Tubagus Sahib
|
|
4.
Pangeran Muhammad Shaleh
|
34.
Ratu Sa’idah
|
|
5.
Ratu Samiyah
|
35.
Ratu Satijah
|
|
6.
Ratu Komariyah
|
36.
Ratu ‘Adawiyah
|
|
7.
Pangeran Tumenggung
|
37.
Tubagus Syarifuddin
|
|
8.
Pangeran Ardikusuma
|
38.
Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat
|
|
9.
Pangeran Anom Mohammad Nuh
|
39.
Tubagus Jamil
|
|
10.
Ratu Fatimah Putra
|
40.
Tubagus Sa’jan
|
|
11.
Ratu Badriyah
|
41.
Tubagus Haji
|
|
12.
Pangeran Manduranagara
|
42.
Ratu Thoyibah
|
|
13.
Pangeran Jaya Sentika
|
43.
Ratu Khairiyah Kumudaningrat
|
|
14.
Ratu Jabariyah
|
44.
Pangeran Rajaningrat
|
|
15.
Pangeran Abu Hassan
|
45.
Tubagus Jahidi
|
|
16.
Pangeran Dipati Banten
|
46.
Tubagus Abdul Aziz
|
|
17.
Pangeran Ariya
|
47.
Pangeran Rajasantika
|
|
18.
Raden Nasut
|
48.
Tubagus Kalamudin
|
|
19.
Raden Maksaruddin
|
49.
Ratu SIti Sa’ban Kusumaningrat
|
|
20.
Pangeran Dipakusuma
|
50.
Tubagus Abunasir
|
|
21.
Ratu Afifah
|
51.
Raden Darmakusuma
|
|
22.
Ratu Siti Adirah
|
52.
Raden Hamid
|
|
23.
Ratu Safiqoh
|
53.
Ratu Sifah
|
|
24.
Tubagus Wirakusuma
|
54.
Ratu Minah
|
|
25.
Tubagus Abdurrahman
|
55.
Ratu ‘Azizah
|
|
26.
Tubagus Mahaim
|
56.
Ratu Sehah
|
|
27.
Raden Rauf
|
57.
Ratu Suba/Ruba
|
|
28.
Tubagus Abdul Jalal
|
58.
Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)
|
|
29.
Ratu Hayati
|
|
|
30.
Ratu Muhibbah
|
|
|
SULTAN
MUHAMMAD SYIFA’ ZAINUL ARIFIN (1733 – 1750) Berputra :
|
||
1.Sultan
Muhammad ‘Arif
|
7.
Ratu Sa’diyah
|
|
2.
Ratu Ayu
|
8.
Ratu Halimah
|
|
3.
Tubagus Hasannudin
|
9.
Tubagus Abu Khaer
|
|
4.
Raden Raja Pangeran Rajasantika
|
10.
Ratu Hayati
|
|
5.
Pangeran Muhammad Rajasantika
|
11.
Tubagus Muhammad Shaleh
|
|
6.
Ratu ‘Afiyah
|
|
|
SULTAN
SYARIFUDDIN ARTU WAKIL (1750 – 1752 )
|
||
-
Tidak Berputera
|
|
|
SULTAN
MUHAMMAD WASI’ ZAINUL ‘ALIMIN (1752-1753)
|
||
-
Tidak Berputera
|
|
|
SULTAN
MUHAMMAD ‘ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :
|
||
1.
Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin
|
4.
Pangeran Suralaya
|
|
2.
Sultan Muhyiddin Zainusholiohin
|
5.
Pangeran Suramanggala
|
|
3
. Pangeran Manggala
|
|
|
SULTAN
ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) Berputra :
|
||
1.
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
|
5.
Pangeran Musa
|
|
2.
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
|
6.
Pangeran Yali
|
|
3.
Pangeran Darma
|
7.
Pangeran Ahmad
|
|
4.
Pangeran Muhammad Abbas
|
|
|
SULTAN
MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) Berputra :
|
||
1.
Sultan Muhammad Shafiuddin
|
|
|
Sultan
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
|
||
Sultan
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
|
||
Sultan
Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
|
||
Sultan
Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
|
||
Sultan
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
|
||
Sultan
Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
|
||
4. Kesultanan Pajang
a.
Awal berdirinya Kerajaaan Pajang
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam
kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya
memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak
ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di
Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama
Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad
ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja
Mataram dmana Pajang dilhat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai
kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan
sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas
kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa
keramik asal negeri Cina.
Ceritera mengenai sejarah Pajang malah
termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2
orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada
tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan
abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala
dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil
dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana
Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.
b. Raja-raja
yang memerintah di Kerajaan Pajang
1.)
Jaka
Tingkir
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia
dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beberdengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki
ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir
jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak
terhadap Kesultanan
Demak. Sebagai pelaksana
hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng
Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai
anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi
pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya
adalah Sunan
Kalijaga. Ia juga berguru
pada Ki
Ageng Sela, dan
dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki
Ageng Pemanahan, dan
Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) +
Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai
Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih
dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli
waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur
dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh
Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18
dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah
Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu
pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama
ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas
ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya.
Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora
pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam
berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja
kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah
diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada
kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan,
Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh
Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa
Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya
bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
2.)
Arya
Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak,
yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya,
yaitu Ratu
Kalinyamatdi Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang
diadakan Hadiwijayabupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai
bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri
tertua Sultan
Hadiwijaya dan dijadikan
sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan
takhta diPajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan
dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawalebih muda daripada istri Pangiri, sehingga
tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan
takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati
Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karenaSunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh
yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan
Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan
hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataramdaripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia
melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas
orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbuMataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap
penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk
menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak.
Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian.
Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
3.)
Pangeran
Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587,
bergelar Sultan Prabuwijaya.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan
Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah
Banowati yang menikah denganMas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian
melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki
putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan
Surakarta. Pangeran Benawa
dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk
menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang
menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra
sulung Sutawijayayang bernama Raden Rangga tidak sengaja
membunuh seorang prajurit Tuban,
membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwaMataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena
ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta
disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang
Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu
dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam
terhadapMataram. Orang-orang Demak juga
berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan
sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak.
Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja
baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
d. Berbagai
Aspek Pada Kerajaan Pajang
1.)
Aspek
Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara
bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang
menjadi lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut
saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat
pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat
mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
2.)
Aspek
Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika
Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara
Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa
Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian
sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan
Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke
dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi
berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi
sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang
telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa
Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya
lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram,
supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.
3.)
Aspek
Politik
Arya Penangsang membuat saluran air
melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena
pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami
pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore.
Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada
Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi
dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali
mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi
keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut
tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada
Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai
orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah
Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang
sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing
becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa
menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya
masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan
sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu
diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para
Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah
tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak
punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’,
‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut
pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru
masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan.
Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai
alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan
keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman
atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan
Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana.
Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya
dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan
kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya
Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan
usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah
menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak
Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan
Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya
Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan
Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang
berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi
diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram.
Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan
Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon
dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi
Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya
masih berdarah Raja Majapahit.
e. Kemunduran
Kerajaan Pajang
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh
sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya,
yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri
didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan
dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan.
Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa
prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu
Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun
Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan
Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri
asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja
pertama bergelar Panembahan Senopati.
5. Kesultanan Mataram
a.
Awal perkembangan Kerajaan Mataram
Islam
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat Kerajaan ini terletak di
sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah
memerintah di Kerajaan Mataram yaitu :Penembahan Senopati (1584-1601), Panembahan
Seda Krapyak (1601-1677).
Dalam
sejarah Islam,Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam
perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia). Hal ini
terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan
mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama,
hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di Jawa.
Pada
awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas
perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan
daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan
Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan
tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai
jenis tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang
berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya.
Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang
menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan
dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan
untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered
dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang
kehadirannya.
Pada
tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang
Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan
mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang.
Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk. Hubungan yang
tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan.
Dalam peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa
pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya
menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai
membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede.
Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan
serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng
Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada
tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai
madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia
mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan
dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai
raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan
itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan
agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan
pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang
diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta).
Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut
selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan Gua
Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa
kelak ia akan menguasai seluruh tanah Jawa.
b.
Sistem
Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem
Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sultan.
Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang
kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada
tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan
penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang
bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya
adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus
memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada
tahun 1601. ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing
Krapyak (1601 – 1613). Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk
dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 –
1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang
perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat
nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma
berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di
Yogyakarta. Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa
ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan
Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada
umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar
“Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung
Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil
gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga
Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan
Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan
penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan
malang. Pada tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba,
tempat yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun
berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara
mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan
Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan
kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang sama Lasem menyerah.
Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya mataram
berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram
melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah
pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat
dikuasai pada tahun 1625.
Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat
kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan
Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil
dipersatukan di bawah mataram. Sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan
diri sultan agung untuk menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia.
Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan
Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk mengempung Batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal,
bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara
bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih
matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia.
Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para
pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan
weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan
pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan
mataram diarahkan keblambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal,
bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat
menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka
pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki
ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya.
Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan
tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan
mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan mataram
diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban
amanat Tuhan di tanah Jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan
dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat
jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan
bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal
yaitu kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kitab serat Nitipraja
digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi
pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi
tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain
menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis
sejarah babad tanah Jawi.
Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh
luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam
dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa
menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka.
Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya
sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir
seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan.
Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78
m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad.
Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi
perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi
sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan
Agung ini masih banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah
dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk
wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa
dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis
beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang
berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama
Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m)
pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan
mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah
kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi
juga menjadi pusat penyebaran islam.
c.
Kemajuan yang dicapai pada masa
pemerintahan Sultan Agung
Kemajuan
yang dicapai meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
yaitu :
1.)
Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
a.) Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam
Sultan
Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha inidimulai
dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,Pasuruhan,
kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islamdi Pulau
Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil
menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu
Wandansari
b.) Anti
penjajah Belanda
Sultan
Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti
dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan
yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan.Adapun
penyebab kegagalannya, antara lain:
·
Jarak
yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus
menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
·
Kekurangan
dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi
lemah.
·
Kalah
dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang
serba modern.
·
Banyak
prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin
memperlemah kekuatan.
·
Portugis
bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut,sedangkan Mataram
lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai
Belanda tanpa bantuan Portugis.
·
Kesalahan
politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam
menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
·
Sistem
koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat.
Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awal sehingga rencana
penyerangan Mataram ini diketahui Belanda.
·
Akibat
penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini
diketahui Belanda sebelumnya.
2.) Bidang
Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi
hal-hal berikut ini:
a.) Sebagai negara agraris, Mataram mampu
meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai
irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah
yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha
tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.
b.) Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di
pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik,tetapi juga kekuatan
ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi
agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
c.) Bidang
sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
·
Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur
ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa denganIslam.
Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian,
dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Sampai kini, di jawa kita kenal sebagai
Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
·
Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan
Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan
tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah).Sejak tahun
1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran
bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan
perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung
ini kemudian dikenal sebagai“tahun
Jawa”.
·
Berkembangnya Kesusastraan Jawa
Pada
zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang
pesat,termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang
kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan
kenegaraan.Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata.
Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.Pengaruh
Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645
M.Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perjanjian Giyanti (1755) berikut:
·
Mataram
Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III
dengan pusat pemerintahan di Surakarta.
·
Mataram
Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi
yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di
Yogyakarta.Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah menjadi dua yaitu
Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta
juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi karena
campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan Mataram, sehingga
mudah untuk di kuasai.Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan
di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya,Mataram diperintah
oleh putranya, SunanTegalwangi, dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677). Dalam
masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur. Wilayah
kekuasaan mataram berangsur-angsur menyempit karena direbut oleh kompeni VOC.
Yang paling mengenaskan, pada tahun1675, Rade Trunajaya dari Madura
memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya
berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu ituteletak di Plered. Amangkurat
terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.Sepeninggal
Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkanDinasti Paku
Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan
VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya. Setelah berakhirnya Perang
Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan
perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan
mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan
munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda,
keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden. Saat ini,
keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti
masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama
kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.
d.
Aspek
Kehidupan Sosial
Kehidupan
masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam
tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan
Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti
oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib,
naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang
pengadilan,dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan
pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan
peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk
Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram. Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam. Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.E.
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram. Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam. Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.E.
e.
Puncak
Kejayaan Mataram Islam
Mataram
Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan
Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu
itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie )
Belanda.Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti
kolonialisme itumenyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629).
Menurut Moejanto sepertiyang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung memakai
konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus
berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,dan tidak terbagi-bagi.
f.
Kemunduran
Mataram Islam
Kemunduran
Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai
seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat
tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.
g.
Silsilah Raja dan Sistem Pemerintahan
1.) Ki Ageng
Pamanahan ( Ki Gede Pamanahan )
·
Pendiri
desa mataram tahun 1556
·
Bergelar
Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
·
Ki
Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
·
Menikah
dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak
perempuan Ki Ageng Henis).
·
Ki
Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya
bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan
dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
·
Hadiwijaya
singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat
membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah,
Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
·
Meninggal
tahun 1584
2.)
Sutawijaya ( Danang sutawijaya )
·
Pendiri
Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
·
Bergelar
Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
·
Dianggap
sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
·
Putra
sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
·
Menurut
naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir
Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
·
Nyai
Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian
diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam
mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
·
Sutawijaya
juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai
pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum
dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara
pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
·
Sayembara
menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi
Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya
Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala
bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
·
Meninggal
dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di
Kotagede.
3.)
Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri
Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram )
·
raja
kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
·
putra
Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas
Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati
·
Ketika
menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu
Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai
putra, kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja
Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas
Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun
setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang
putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu
jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
·
Pada
tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat
Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun
1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu
menjatuhkan kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos
VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati
mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin
hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
·
meninggal
dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan
Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta
Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang
bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak"
4.)
Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu
Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas Jatmika )
·
lahir:
Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan
Mataram, 1645
·
raja
ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
·
Di
bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan
Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
·
Atas
jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan
menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975
tanggal3 November 1975.
·
putra
dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( putri
Pangeran Benawa raja Pajang ( Dyah Banowati )
·
Pada
tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik.
·
kemunduran
kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan VOC
·
menyerang
Batavia sebanyak 2x. Serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia,
dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000
pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara
mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC
berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua ( 1629 ) dipimpin Adipati Ukur
dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan kedua Sultan
Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan
timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu
J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
5.)
Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat Agung)
·
Memerintah
pada tahun 1646-1677
·
Memiliki
gelar anumertaSunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum
·
Nama
aslinya adalah Raden Mas Sayidin putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu
Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupatiBatang (keturunan Ki Juru
Martani).
·
Ketika
menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
·
memiliki
dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon
yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri
keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak
menjadi Pakubuwana I.
·
mendapatkan
warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas.
·
menerapkan
sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
·
Pada
tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Perpindahan istana tersebut
diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I
yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat
dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti
menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak
5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
·
Amangkurat
I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646
ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos
dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke
pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan
pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai
bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat
VOC merebut Palembang tahun 1659.
·
hubungan
diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di
tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan
menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu
ditolak.
·
tanggal
28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas
Rahmat melarikan diri ke barat.Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya
istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Pelarian Amangkurat I
membuatnya jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa,
Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal
6.)
Amangkurat II (Nama asli Amangkurat II ialah Raden
Mas Rahmat )
·
putra
Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekikdari
Surabaya.
·
memiliki
banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat
III)
·
Pada
bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta
karena istana Plered diduduki adiknya, yaituPangeran Puger. Istana baru
tersebut bernama Kartasura.
·
Amangkurat
II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan
takhta Kartasura antara putranya, yaituAmangkurat III melawan adiknya, yaitu
Pangeran Puger.
·
Pada
bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili
Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utaraJawa mulai Kerawang sampai ujung
timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
·
Mas
Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan
bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember
1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri
pada 2 Januari 1680.
7.)
Amangkurat III (Nama aslinya adalah Raden Mas
Sutikna )
·
memerintah
antara tahun 1703– 1705.
·
dijuluki
Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
·
Ketika
menjabat sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu
Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena
berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
·
Raden
Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa
menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu
Himpun adik Ayu Lembah.
·
Rombongan
Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka keraton.
Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat
bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke
Madiun. Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri.
·
Sepanjang
tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan
Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya
memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
·
Pangeran
Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya
menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi
menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
·
VOC
kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut
untuk diasingkan ke Sri Lanka.
·
Meninggal
di negeri itu pada tahun 1734.
·
Konon,
harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun
demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau
Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di
Kadilangu, Demak.
·
Perang
Suksesi Jawa I (1704–1708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
·
Perang
Suksesi Jawa II (1719–1723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan
Pangeran Purbaya.
·
Perang
Suksesi Jawa III (1747–1757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh
Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.
b.
Peninggalan sejarah kerajaan mataram
Islam :
1.)
Sumber- Sumber Berita:
a.) Babad Tanah Djawi
b.) Babad Meinsma
c.) Serat Kandha
d.) Serat Centini
e.) Serat Cabolek
f.) Serat Dharma Wirayat (yang
sangat populer sebagai karya Sri Paku Alam III.)
g.) Serat Nitipraja
h.) Babad Sangkala
i.)
Babad
Sankalaniang Momana
j.)
Sadjarah
Dalem
2.)
Seni dan Tradisi:
a.)
Sastra
Ghending karya Sultan Agung
b.)
Tahun
Saka
Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang
berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan
perhitungan bulan
c.)
Kerajinan
Perak
Perak Kotagede sangat terkenal hingga ke mancanegara, kerajinan ini warisan
dari orang-orang Kalang.
d.)
Kalang
Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di
Bali, tetapi upacara Kalang Obong ini bukan mayatnya yg dibakar melainkan
pakaian dan barang-barang peninggalannya
e.)
Kue
Kipo
Makanan tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari
kelapa, tepung, dan gula merah.
f.)
Pertapaan
Kembang Lampir
Kembang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa
Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan
pertapaan Ki Ageng Pemanahan ketika mencari wahyu karaton Mataram.
3.)
Bangunan- Bangunan, Benda Pusaka, dan Lainnya:
a.) Segara Wana dan Syuh Brata adalah
meriam- meriam yang sangat indah yang diberikan oleh J.P. Coen (pihak Belanda)
atas perjanjiannya dengan Sultan Agung. Sekarang meriam itu diletakkan di depan
keraton Surakarta dan merupakan meriam yang paling indah di nusantara
b.) Puing - puing / candi- candi Siwa dan
Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan
c.) Batu Datar di Lipura yang tidak jauh
di barat daya Yogyakarta
d.) Baju “keramat” Kiai Gundil atau Kiai
Antakusuma
e.) Masjid Agung Negara
Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
f.) Masjid Jami Pakuncen
Masjid Jami Pekuncen yang berdiri di Tegal Arum, Kabupaten Tegal, Jawa
Tengah, merupakan salah bangunan peninggalan Islam yang dibuat Sunan Amangkurat
I sebagai salah satu tempat penting untuk penyebaran Islam kala itu.
g.) Gerbang Makam Kota Gede
Gerbang ini adalah perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.
h.) Masjid Makam Kota Gede
Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno,
inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar